BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat Ilmu
merupakan bukti perkembangan dunia pendidikan atau kemajuan ilmu
pengetahuan, di mana awal ilmu pengetahuan dikembangkan juga berinduk
dari filsafat. Filsafat Ilmu secara
khusus membahas tentang hakekat pengetahuan, realitas kebenaran, proses
seseorang memperoleh ilmu pengetahuan, dan manfaat atau hakekat kegunaan suatu
ilmu pengetahuan. Untuk itu, kemajuan ilmu pengetahuan memerlukan seperangkat
metode, alat, dan prinsip yang dapat merumuskan suatu substansi pengetahuan
hingga menghantarkan pada keguanaan ilmu pengetahuan, baik teoretis
maupun praksisnya.
Dalam perkuliahan ini dibahas kerangka bangun ilmu pengetahuan (body
of science) dan substansi pengetahuan guna mengungkap hakekat kebenaran dan
realitas, serta metode apa saja yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan,
dari mana dan ke mana arah sumber pengetahuan, mengapa terjadi pergumulan dalam
dunia pengetahuan di Barat dan di Dunia Islam, mengapa pula terjadi pergumulan
pengetahuan kedua kutub dunia Barat dan Islam sehingga terjadi dikhotomi ilmu
pengetahuan antara Ilmu Islam dan Sains Barat, dan kemudian bagaimana
mengintergrasikan Ilmu Islam dan Sains Barat. Bagaimana pula sikap kita
sebagai ilmuwan muslim atau pendidik Islam (guru/dosen dalam rumpun keilmuan
Islam) apakah kita bersikap inklusif ataukah eksklusif terhadap perkembangan
dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam pada tingkat dasar hingga
pendidikan tinggi untuk kemajuan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat dan pembangunan.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui rasionalisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
2. Untuk mengetahui empirisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
3. Untuk menegetahui kritisisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
4. Untuk mengetahui intiusionisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
BAB II
PEMBAHASAN
ASUMSI-ASUMSI DASAR PROSES KEILMUAN MANUSIA
Proses keilmuan manusia
terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu. Maka suatu ilmu pada
dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan pertemuan
keduanya. Apa hakikat ketiga hal itu dan bagaimana peran masing-masing
unsur tersebut dalam proses keilmuan? dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan ini, dalam sejarah filsafat, merupakan persoalan
kefilsafatan yang berkaitan dengan asumsi dasar dari proses keilmuan itu
sendiri. Tentang hal ini, ada banyak aliran kefilsafatan yang menyumbangkan
pemikirannya.
Berikut akan dibahas,
secara ringkas, empat aliran kefilsafatan; Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme,
Intuisionisme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup ekstrim, yang
ketiga adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran sebelumnya. Sedang
aliran keempat adalah aliran yang sampai saat ini sedang mencari dukungan
epistemologis dan juga metodologis untuk suatu pengetahuan yang bersumber (origin)
dari pengalaman (batini).
A. Rasionalisme Asumsi Dasar Keilmuan
Secara etimologis Rasionalisme
berasal dari kata bahasa Inggris rationalism.
Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”.A.R.Lacey
menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan
yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.[1]
Sedangkan secara terminologis ialah paham yang mengatakan bahwa akal adalah
alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal,
temuannya diukur dengan akal pula.[2]
Aliran ini menyatakan
bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh
dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan
menangkap objek. Diperoleh dengan akal ialah diperoleh dengan cara berpikir
logis, diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak.
Jika logis berarti benar, dan jika tidak logis berarti salah.[3]
Descartes,seorang
pelopor rasionalisme yang telah memberikan dasar pijakan yang kuat bagi
rasionalisme,untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal ,ia
menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering disebut cogito
Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan
metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Pertama-tama ia mulai meragukan
hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya
sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi,
ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada
keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan
yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang
sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula pada
pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi
dan jaga.
Pada langkah pertama
ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat di indera. Kemudian
sampailah ia pada langkah selanjutnya yaitu satu-satunya hal yang tak dapat ia
ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu
hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat menipunya. Bahkan jika kemudian
ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi
Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan
khayalan melainkan kenyataan. Kepastian Descartes ini diekspresikan dalam
bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).
Kaum rasionalis pada
abad ke -17 dan ke – 18 yaitu Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Wolff,
meski sebenarnya akar pemikiran filsuf klasik seperti plato, aristoteles, dll.
Demikianlah
rasionalisme menganggap sumber pengetahuan manusia itu adalah rasio.Rasio itu
berpikir.Berpikir inilah yang membentuk pengetahuan.Karena hanya manusia yang
berpikirlah yang memiliki pengetahuan.Berdasarkan pengetahuan inilah manusia
berbuat dan mementukan tindakannya.Berbeda pengetahuan,maka akan berbeda pula
laku-perbuatan dan tindakannya.Tumbuhan dan binatang tidak berpikir,maka mereka
tidak berpengetahuan.Laku-perbuatan dan tindakan makhluk-makhluk yang tidak
punya rasio,sangat ditentukan oleh naluri,yang dibawanya sejak lahir.Tumbuhan
dan binatang memperoleh pengalaman seperti manusia.Namun demikian tidak mungkin
mereka membentuk pengetahuan dari pengalamannya.Oleh karenanya pengetahuan hanya
dibangun oleh manusia dengan rasionya
B. Empirisme Asumsi Dasar Keilmuan
Bertentangan dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio
sebagai sumber pengetahuan, empirisisme memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Secara estimologi,
istilah empirisisme berasal dari kata Yunani emperia yang berarti pengalaman.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di
antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam
pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber
pengetahuan, dan bukan akal, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia
maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja[4]. Pada kelanjutanya teori ini di anut pula oleh
Marxisme tentang pengetahuan manusia sebagai cerminan realitas obyektif [5]. Aliran
ini muncul di Inggris, pada awalnya dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626),
kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes, seperti Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting
adalah David Hume (1711-1776).
Thomas Hobbes
menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.
Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus),
yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan.
Dunia dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan
merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar
hukum-hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem
materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.[6]
John Locke mengagumi metode Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi
ajarannya. Menurut Locke, rasio, rasio mula-mula harus dianggap “as a white
paper” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Ada dua pengalaman:
lahiriyah (sensation) dan batiniyah (reflexion).[7] Menurutnya
pada waktu manusia dilahirkan akalnya atau pikirannya merupakan sejenis buku
catatan yang kosong. Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman
inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta
membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang
pertama dan sederhana. Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita
tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita
tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita
menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya
segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita
akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah
yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit. Dengan demikian kita
dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia
didapatkan melalui penginderaan. Ia menentang teori rasionalisme mengenai
idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut
dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran
akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak
melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.
Aliran empirisisme memuncak pada David Hume. Ia menerapkan prinsip
empirisisme secara radikal dan konsisten. David Hume lahir di Edinburgh tahun
1711. Di kota kelahirannya itu, ia menekuni bidang filsafat. Karya terbesar
Hume adalah A Teatise of Human Nature. Buku ini
ditulis Hume di Prancis ketika usianya masih sangat muda, 26 tahun. Melalui
karyanya ini Hume ingin memperkenalkan metode eksperimental sebagai dasar menuju subjek-subjek moral.[8] Buku
tersebut terdiri atas tiga bagian. Pertama, mengupas problem-problem
epistemologi. Kedua, membahas masalah emosi manusia. Dan Ketiga,
membicarakan tentang prinsip-prinsip moral.
C.
Kritisisme Asumsi Dasar Keilmuan
Harus diakui
bahwa kedua aliran rasionalisme dan empirisisme sama-sama bersifat ekstrim dan
eksklusif. Yang satu hanya mengakui akal atau rasio, sedangkan yang lainnya
hanya mengakui pengalaman atau empiri. Keduanya sama-sama menafikan keberadaan
yang lain.
Immanuel Kant
adalah filosof yang paling berjasa mendamaikan dua kutub ekstrim ini. Bagi kant
bahwa kendatipun pengetahuan berasal dari pengalaman panca indera, namun dalam
rasio manusia sesungguhnya telah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma
sebagai wadah setelah kita menangkap benda-benda itu secara inderawi. Dengan
demikian menurut Kant sumber ilmu adalah rasio dan pengalaman.
Adapun untuk
mencapai pengetahuan yang sebenarnya menurut Kant adalah melalui daya
pengenalan dari tingkat terendah yang berasal dari pengamatan inderawi sampai
meningkat menuju yang lebih tinggi yaitu akal (verstand), untuk kemudian
sampai pada intelek atau rasio (vernunft), Tahapannya adalah sebagai
berikut:
1.
Benda-benda ada pada dirinya sendiri, an
sich, tentu saja ada, tetapi tidak dapat diselidiki. Yang bisa diamati
adalah benda-benda sejauh mereka menjadi obyek yang diselidiki
2. Yang diamati
oleh panca indera itu gejala-gejalanya saja. Keliru sekali bila ada yang
mengira bahwa antara gejala dan bendanya an sich adalah sama.
3. Gejala dari
benda yang diamati masuk ke dalam dua bentuk apriori ruang dan waktu. Ruang dan
waktu ini adanya mendahului pengalaman atau adanya sudah terpatri di akal.
4. Dari pengamatan
masuk ke dalam bidang akal (verstand). Di akal ada 12 kategori, yaitu:
kuantitas (kesatuan, kebanyakan, keseluruhan), kualitas (realitas, negasi,
limitasi), relasi (subtansi dan aksidensi, sebab an akibat, interaksi),
modalitas (mungkin/tidak mungkin, ada/tiada, keperluan/ kebetulan).
5. Di belakang akal, ada tiga ide, yaitu ide
kosmologis yang mengtur penghayatan manusia tentang adanya jiwa, tempat
pengalaman batin, dan ide teologis yang mewadahi pengalaman lahir dan batin.
Tiga ide ini ada di bidang intelek atau rasio.
6. Seluruh analisa
ini mengandaikan suatu subyek, suatu “aku” yang sedang berfikir. Analisa ini
mengandaikan seorang “pemilik” bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu,
kategori-kategori, dan ide-ide.[9]
Sedangkan
cara-cara mengompromisasikan anatara kedaulatan akal budi dengan pengalaman
adalah sebagai berikut: “Bagaimana, fungsi akal adalah yang pertama dan utama,
namun akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya.
Pada waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di mana
ketentuan-ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi
pengalaman tampil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan. Dalam kritik atas
Rasio Murni, I. Kant membedakan tiga macam pengatahuan.
a. Pengetahuan
analitis: predikat sudah termuat dalam subjek. Predikat diketahui melalui suatu
analisis subjek. Misal, lingkaran itu bulat.
b. Pengetahuan
sintesis aposteriori: predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman
indrawi. Misal, kalimat “hari ini sudah hujan”, merupakan suatu hasil observasi
indrawi “sesudah” observasi saya, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P.
c. Pengetahuan
sintesis apriori: akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu
pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintesis apriori.
- Intuisionisme Asumsi Dasar Keilmuan
Intuisionisme
(berasal dari bahasa Latin: intuitio
yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat
tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah
Henri Bergson. Intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme.
Intuisionisme
adalah sistem etika yang tidak
mengukur baik atau buruk sesuatu perbuatan berdasarkan hasilnya tetapi
berdasarkan niat dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dalam bahasa Inggris Intuisionisme berasal kata Intuiton
yang berarti manusia memliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati
mampu membuat manusia melihat suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik.
Intuisionisme juga merupakan suatu proses melihat dan memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan
dengan gerak hati atau intuisi tidak diketahui secara jelas. Namun,
setengah ahli filsafat menyebutkan jantung dan otak kanan sebagai organ fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati yang
tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu pengalaman emosional dan spiritual. Menurut Immanuel Kant, akal tidak
pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat
terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak
terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Intuisi disebut
juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu
saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada semua orang melainkan
hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai suatu masalah. Ketika
seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah
intuisi berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut separo
rasional atau kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari rasional
dan hanya berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal namun menemui
jalan buntu.[10]
Henri Bergson
(1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap tidak hanya indera
yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah
objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap.
Intelek atau akal juga terbatas.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan
satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi.
Intuisionisme
dipelopori dan dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi
merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur
utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan
langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam
beberapa hal. intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi,
kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui
intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis
pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang
diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam
penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan
langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari
indera dan akal.[11]
Tokoh- Tokoh Intuisionisme[12]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu.
Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan
pertemuan keduanya. Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal adalah
alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal,
temuannya diukur dengan akal pula.
Descartes, seorang pelopor rasionalisme yang telah memberikan dasar pijakan
yang kuat bagi rasionalisme, untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat
haruslah akal. Metode yang digunakan oleh Descrates adalah metode karaguan
yaitu meragukan panca indra sendiri dan meragukan adanya badan dari dirinya
sendiri dan yang kedua adalah bahwa satu satunya eksistensi yang tidak dapat di
ragukankan adalah adanya diri sendiri. Dari sinilah muncul kalimat dari
Descrates “aku berfikir maka aku ada”.
Menurut John Locke, pengagum metode Descartes,
mula-mula rasio dianggap sebagai sebuah kertas putih yang seluruh isinya
berasal dari pengalaman empiris. Atas dasar tersebut John Locke membagi
pengalaman menjadi dua yaitu:
1. Pengalaman lahiriah
2. Pengalaman batiniyah
Aliran empirisisme memuncak pada David Hume. Ia menerapkan prinsip
empirisisme secara radikal dan konsisten.
Menurut Bergson intuisi adalah media untuk mengetahui secara
langsung dan seketika dan pengetahuan yang didapat dengan intuisi merupakan
pengetahuan yang sempurna. Meskipun begitu, dalam beberapa hal intuisi tidak
mengingkari peran pengalaman inderawi. Intuisi tidak dapat diandalkan dalam hal
menyusun pengetahuan dari awal secara teratur. Namun Pengetahuan intuitif
dapat diandalkan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan
benar tidak suatu ernyataan yang dikemukakan.
Kritisisme merupakan aliran filsafat yang menyelidiki batas-batas
kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme
sangat berbeda corak dengan rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio
secara mutlak. Kritisisme menjebatani pandangan rasionalisme dan empirisme,
yang intinya ilmu pengetahuannya berasal dari rasio dan pengalaman manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2013. filsafat
umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Bakhtiar, Amsal. 2008. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
F, Beerling .1996. Filsafat
Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta : Balai Pustaka.
Hadiwiyono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius.
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
K, Bertens. 2001. Ringkasan Sejarah Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Muslih, Muhammad. 2014. Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta: Belukar.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat & etika,
Jakarta: Prenada Media.
Sadr, Baqir Ash. 1999. falsafatuna ,Pandangan
Mbaqir ash sadr tentang Pelbagai aliran filsafat Dunia, Bandung : Mizan.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi
, dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
[1]
M.Ied Al
Munier, Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme hlm.234
[2] Ahmad
Tafsir,Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi,Epistemologi,dan Aksiologi
Pengetahuan,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2004) hlm.30
[4] Juhaya
S.Praja, Aliran-aliran Filsafat & etika, ( Jakarta : Prenada Media; 2003),
hlm. 105
[5] Ash Sadr,
Baqir. falsafatuna ; Pandangan Mbaqir
ash sadr tentang Pelbagai aliran filsafat Dunia.(terj. Nur Mufid), Bandung :
Mizan, 1999. hlm 33
[6] Harun
Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal
33.
[7]
Ibid,
36
[8] K. Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-18, hlm 52
[10] Asmoro Achmadi,
filsafat umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013). hlm. 115
[11] Hanafi, Ahmad,
MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991 cet. ke-5).
[12] Mohammad
Muslih, Filsafat
Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:
Belukar, Cet. Ke-8, 2014), hal. 69