Rabu, 07 Februari 2018

Makalah Asumsi Asumsi Dasar Proses Keilmuan Manusia



BAB I
PENDAHULUAN 
 
A.    Latar Belakang
Filsafat Ilmu merupakan bukti perkembangan dunia pendidikan atau kemajuan ilmu pengetahuan,  di mana awal ilmu pengetahuan dikembangkan juga berinduk dari filsafat. Filsafat Ilmu secara khusus membahas tentang hakekat pengetahuan, realitas kebenaran, proses seseorang memperoleh ilmu pengetahuan, dan manfaat atau hakekat kegunaan suatu ilmu pengetahuan. Untuk itu, kemajuan ilmu pengetahuan memerlukan seperangkat metode, alat, dan prinsip yang dapat merumuskan suatu substansi pengetahuan hingga menghantarkan pada  keguanaan ilmu pengetahuan, baik  teoretis maupun praksisnya.
Dalam perkuliahan ini dibahas kerangka bangun ilmu pengetahuan (body of science) dan substansi pengetahuan guna mengungkap hakekat kebenaran dan realitas, serta metode apa saja yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, dari mana dan ke mana arah sumber pengetahuan, mengapa terjadi pergumulan dalam dunia pengetahuan di Barat dan di Dunia Islam, mengapa pula terjadi pergumulan pengetahuan kedua kutub dunia Barat dan Islam sehingga terjadi dikhotomi ilmu pengetahuan antara Ilmu Islam dan Sains Barat, dan kemudian bagaimana mengintergrasikan Ilmu Islam dan Sains Barat.   Bagaimana pula sikap kita sebagai ilmuwan muslim atau pendidik Islam (guru/dosen dalam rumpun keilmuan Islam) apakah kita bersikap inklusif ataukah eksklusif terhadap perkembangan dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam pada tingkat dasar hingga pendidikan tinggi untuk kemajuan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan.

B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui rasionalisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
2.      Untuk mengetahui empirisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
3.      Untuk menegetahui kritisisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
4.      Untuk mengetahui intiusionisme asumsi dasar proses keilmuan manusia
           


BAB II
PEMBAHASAN
ASUMSI-ASUMSI DASAR PROSES KEILMUAN MANUSIA

Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan pertemuan keduanya. Apa hakikat ketiga hal itu dan bagaimana peran masing-masing unsur tersebut dalam proses keilmuan? dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini, dalam sejarah filsafat, merupakan persoalan kefilsafatan yang berkaitan dengan asumsi dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Tentang hal ini, ada banyak aliran kefilsafatan yang menyumbangkan pemikirannya.
Berikut akan dibahas, secara ringkas, empat aliran kefilsafatan; Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Intuisionisme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup ekstrim, yang ketiga adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran sebelumnya. Sedang aliran keempat adalah aliran yang sampai saat ini sedang mencari dukungan epistemologis dan juga metodologis untuk suatu pengetahuan yang bersumber (origin) dari pengalaman (batini).

A.    Rasionalisme Asumsi Dasar Keilmuan
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”.A.R.Lacey menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.[1] Sedangkan secara terminologis ialah paham yang mengatakan bahwa akal adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.[2]
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Diperoleh dengan akal ialah diperoleh dengan cara berpikir logis, diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Jika logis berarti benar, dan jika tidak logis berarti salah.[3]
Descartes,seorang pelopor rasionalisme yang telah memberikan dasar pijakan yang kuat bagi rasionalisme,untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal ,ia menyusun argumentasinya dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt). Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga.
Pada langkah pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat di indera. Kemudian sampailah ia pada langkah selanjutnya yaitu satu-satunya hal yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat menipunya. Bahkan jika kemudian ia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Kepastian Descartes ini diekspresikan dalam bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).
Kaum rasionalis pada abad ke -17 dan ke – 18 yaitu Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Wolff, meski sebenarnya akar pemikiran filsuf klasik seperti plato, aristoteles, dll.
Demikianlah rasionalisme menganggap sumber pengetahuan manusia itu adalah rasio.Rasio itu berpikir.Berpikir inilah yang membentuk pengetahuan.Karena hanya manusia yang berpikirlah yang memiliki pengetahuan.Berdasarkan pengetahuan inilah manusia berbuat dan mementukan tindakannya.Berbeda pengetahuan,maka akan berbeda pula laku-perbuatan dan tindakannya.Tumbuhan dan binatang tidak berpikir,maka mereka tidak berpengetahuan.Laku-perbuatan dan tindakan makhluk-makhluk yang tidak punya rasio,sangat ditentukan oleh naluri,yang dibawanya sejak lahir.Tumbuhan dan binatang memperoleh pengalaman seperti manusia.Namun demikian tidak mungkin mereka membentuk pengetahuan dari pengalamannya.Oleh karenanya pengetahuan hanya dibangun oleh manusia dengan rasionya

B.     Empirisme Asumsi Dasar Keilmuan
Bertentangan dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, empirisisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Secara estimologi, istilah empirisisme berasal dari kata Yunani emperia yang berarti pengalaman. Secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja[4]. Pada  kelanjutanya teori ini di anut pula oleh Marxisme tentang pengetahuan manusia sebagai cerminan realitas obyektif [5]. Aliran ini muncul di Inggris, pada awalnya dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern.[6]
John Locke mengagumi metode Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurut Locke, rasio, rasio mula-mula harus dianggap “as a white paper” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Ada dua pengalaman: lahiriyah (sensation) dan batiniyah (reflexion).[7] Menurutnya pada waktu manusia dilahirkan akalnya atau pikirannya merupakan sejenis buku catatan yang kosong. Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.
Aliran empirisisme memuncak pada David Hume. Ia menerapkan prinsip empirisisme secara radikal dan konsisten. David Hume lahir di Edinburgh tahun 1711. Di kota kelahirannya itu, ia menekuni bidang filsafat. Karya terbesar Hume adalah A Teatise of Human Nature. Buku ini ditulis Hume di Prancis ketika usianya masih sangat muda, 26 tahun. Melalui karyanya ini Hume ingin memperkenalkan metode eksperimental sebagai dasar menuju subjek-subjek moral.[8] Buku tersebut terdiri atas tiga bagian. Pertama, mengupas problem-problem epistemologi. Kedua, membahas masalah emosi manusia. Dan Ketiga, membicarakan tentang prinsip-prinsip moral.

C.    Kritisisme Asumsi Dasar Keilmuan
Harus diakui bahwa kedua aliran rasionalisme dan empirisisme sama-sama bersifat ekstrim dan eksklusif. Yang satu hanya mengakui akal atau rasio, sedangkan yang lainnya hanya mengakui pengalaman atau empiri. Keduanya sama-sama menafikan keberadaan yang lain.
Immanuel Kant adalah filosof yang paling berjasa mendamaikan dua kutub ekstrim ini. Bagi kant bahwa kendatipun pengetahuan berasal dari pengalaman panca indera, namun dalam rasio manusia sesungguhnya telah ada kategori-kategori, bentuk, atau forma sebagai wadah setelah kita menangkap benda-benda itu secara inderawi. Dengan demikian menurut Kant sumber ilmu adalah rasio dan pengalaman.
Adapun untuk mencapai pengetahuan yang sebenarnya menurut Kant adalah melalui daya pengenalan dari tingkat terendah yang berasal dari pengamatan inderawi sampai meningkat menuju yang lebih tinggi yaitu akal (verstand), untuk kemudian sampai pada intelek atau rasio (vernunft), Tahapannya adalah sebagai berikut:
1.      Benda-benda ada pada dirinya sendiri, an sich, tentu saja ada, tetapi tidak dapat diselidiki. Yang bisa diamati adalah benda-benda sejauh mereka menjadi obyek yang diselidiki
2.      Yang diamati oleh panca indera itu gejala-gejalanya saja. Keliru sekali bila ada yang mengira  bahwa antara gejala dan bendanya an sich adalah sama.
3.      Gejala dari benda yang diamati masuk ke dalam dua bentuk apriori ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini adanya mendahului pengalaman atau adanya sudah terpatri di akal.
4.      Dari pengamatan masuk ke dalam bidang akal (verstand). Di akal ada 12 kategori, yaitu: kuantitas (kesatuan, kebanyakan, keseluruhan), kualitas (realitas, negasi, limitasi), relasi (subtansi dan aksidensi, sebab an akibat, interaksi), modalitas (mungkin/tidak mungkin, ada/tiada, keperluan/ kebetulan).
5.       Di belakang akal, ada tiga ide, yaitu ide kosmologis yang mengtur penghayatan manusia tentang adanya jiwa, tempat pengalaman batin, dan ide teologis yang mewadahi pengalaman lahir dan batin. Tiga ide ini ada di bidang intelek atau rasio.
6.      Seluruh analisa ini mengandaikan suatu subyek, suatu “aku” yang sedang berfikir. Analisa ini mengandaikan seorang “pemilik” bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu, kategori-kategori, dan ide-ide.[9]
Sedangkan cara-cara mengompromisasikan anatara kedaulatan akal budi dengan pengalaman adalah sebagai berikut: “Bagaimana, fungsi akal adalah yang pertama dan utama, namun akal harus mengakui persoalan-persoalan yang ada di luar jangkauannya. Pada waktu akal tidak mampu meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di mana ketentuan-ketentuan akal itu tidak berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman tampil sebagai suatu cara pencapaian pengetahuan. Dalam kritik atas Rasio Murni, I. Kant membedakan tiga macam pengatahuan.
a.       Pengetahuan analitis: predikat sudah termuat dalam subjek. Predikat diketahui melalui suatu analisis subjek. Misal, lingkaran itu bulat.
b.      Pengetahuan sintesis aposteriori: predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi. Misal, kalimat “hari ini sudah hujan”, merupakan suatu hasil observasi indrawi “sesudah” observasi saya, saya bisa mengatakan bahwa S adalah P.
c.       Pengetahuan sintesis apriori: akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam bersifat sintesis apriori.

  1. Intuisionisme Asumsi Dasar Keilmuan
Intuisionisme (berasal dari bahasa Latin: intuitio yang berarti pemandangan) adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson. Intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme.
Intuisionisme adalah sistem etika yang tidak mengukur baik atau buruk sesuatu perbuatan berdasarkan hasilnya tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dalam bahasa Inggris Intuisionisme berasal kata Intuiton yang berarti manusia memliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik. Intuisionisme juga merupakan suatu proses melihat dan memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan dengan gerak hati atau intuisi tidak diketahui secara jelas. Namun, setengah ahli filsafat menyebutkan jantung dan otak kanan sebagai organ fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu pengalaman emosional dan spiritual. Menurut Immanuel Kant, akal tidak pernah mampu mencapai pengetahuan langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus (fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak terhalang oleh perkara apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah intuisi berkemungkinan akan muncul. Bahkan intuisi sering disebut separo rasional atau kemampuan yang berbeda pada tahap yang lebih tinggi dari rasional dan hanya berfungsi jika rasio telah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.[10]
Henri Bergson (1859), seorang tokoh epistemology Intuisionisme menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki oleh manusia, yaitu intuisi.
Intuisionisme dipelopori dan dipopulerkan oleh Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal. intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi. Harold H. Titus memberikan catatan, bahwa intuisi adalah suau jenis pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera dan akal; dan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi (trancendent) pengetahuan kita yang diperoleh dari indera dan akal.[11]
Tokoh- Tokoh Intuisionisme[12]
1.      Luitzen Egbartus Jan Brouwer (1881-1966)
2.      Arend Heyting (1898-1980)
3.      Sir Michael Anthony Eardley Dummet (1925-2011)



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan pertemuan keduanya. Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Descartes, seorang pelopor rasionalisme yang telah memberikan dasar pijakan yang kuat bagi rasionalisme, untuk meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal. Metode yang digunakan oleh Descrates adalah metode karaguan yaitu meragukan panca indra sendiri dan meragukan adanya badan dari dirinya sendiri dan yang kedua adalah bahwa satu satunya eksistensi yang tidak dapat di ragukankan adalah adanya diri sendiri. Dari sinilah muncul kalimat dari Descrates “aku berfikir maka aku ada”.
Menurut John Locke, pengagum metode Descartes, mula-mula rasio dianggap sebagai sebuah kertas putih yang seluruh isinya berasal dari pengalaman empiris. Atas dasar tersebut John Locke membagi pengalaman menjadi dua yaitu:
1.      Pengalaman lahiriah
2.      Pengalaman batiniyah
Aliran empirisisme memuncak pada David Hume. Ia menerapkan prinsip empirisisme secara radikal dan konsisten.
Menurut Bergson intuisi adalah media untuk mengetahui secara langsung dan seketika dan pengetahuan yang didapat dengan intuisi merupakan pengetahuan yang sempurna. Meskipun begitu, dalam beberapa hal intuisi tidak mengingkari peran pengalaman inderawi. Intuisi tidak dapat diandalkan dalam hal menyusun pengetahuan dari awal secara teratur.  Namun Pengetahuan intuitif dapat diandalkan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidak suatu ernyataan yang dikemukakan.
Kritisisme merupakan aliran filsafat yang menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda corak dengan rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Kritisisme menjebatani pandangan rasionalisme dan empirisme, yang intinya ilmu pengetahuannya berasal dari rasio dan pengalaman manusia.




DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. 2013.  filsafat umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Bakhtiar, Amsal. 2008. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
F, Beerling .1996.  Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta : Balai Pustaka.
Hadiwiyono, Harun. 1980.  Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius.
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
K, Bertens. 2001.  Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Muslih, Muhammad. 2014.  Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat & etika, Jakarta: Prenada Media.
Sadr, Baqir Ash. 1999. falsafatuna ,Pandangan Mbaqir ash sadr tentang Pelbagai aliran filsafat Dunia, Bandung : Mizan.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi , dan Aksiologi Pengetahuan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.


[1] M.Ied Al Munier, Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme hlm.234
[2] Ahmad Tafsir,Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi,Epistemologi,dan Aksiologi Pengetahuan,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2004) hlm.30
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2008) hlm.102
[4] Juhaya S.Praja, Aliran-aliran Filsafat & etika, ( Jakarta : Prenada Media; 2003), hlm. 105
[5] Ash Sadr, Baqir.  falsafatuna ; Pandangan Mbaqir ash sadr tentang Pelbagai aliran filsafat Dunia.(terj. Nur Mufid), Bandung : Mizan, 1999. hlm 33
[6] Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal 33.
[7] Ibid, 36
[8] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-18, hlm 52
[9] F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin,  (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[10] Asmoro Achmadi, filsafat umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013). hlm. 115
[11] Hanafi, Ahmad, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991 cet. ke-5).
[12] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, Cet. Ke-8, 2014), hal. 69