BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, al –
Qur’an semakin membuktikan sebagai kitab
yang benar – benar merupakan firman Allah SWT. Tuhan yang menciptakan alam
semesta.[1] Al
– Qur’an memakai istilah “al –alamin” yaitu seluruh alam, ketika merujuk
kepada Tuhan, sebagai Tuhan seluruh alam (Robb al – Alamin). Alam
memiliki fungsi – fungsi diantaranya yaitu alam sebagai ciptaan; alam sebagai
tanda; alam sebagai manifestasi.
Alam digambarkan oleh Ibn Sina
sebagai “wujud yang mungkin” atau “wujud potensial”. Sebagai wujud potensial
alam sangat membutuhkan wujus lain yang sudah aktual, yaitu Tuhan, sebagai
“Wajib al – Wujud”. Tuhan dengan prinsip aktualitasnya mampu mewudkan alam. Disini terlihat hubungan
yang lebh dekat antara alam dan Tuhan.
Alam merupakan tanda – tanda
kebesaran Allah. Tuhan sengaja memamerkan alam kepada manusia, sebagai tanda –
tandanya dan itu bukan hanya yang ada pada alam tetapi juga yang ada pada diri
manusia itu sendiri. Dalam al – Qur’an mengatakan “Akan kami perlihatkan
kepada mereka tanda – tanda kami yang ada di jagat raya (afaq) dan yang ada ada
diri mereka, agar mereka tahu bahwasanya ia (al – Qur’an) adalah benar – benar
dari Tuhan mereka” (Q.S 41:53).
Alam sebagai manifestasi Tuhan
menunjukkan bahwa alam adalah tempat bermanifestasi. Manifestasi adalah perwujudan
dari sesuatu yang tidak terlihat.[2]
B.
Rumusan Masalah
Agar makalah ini terarah, maka penulis membatasi dengan rumusan
sebagai berikut :
1.
Apa
yang dimaksud Alam sebagai Ciptaan ?
2.
Apa
yang dimaksud Alam sebagai Tanda ?
3.
Apa
yang dimaksud Alam sebagai manifestasi (Tajalliyat) ?
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui Alam Sebagai Ciptaan
2.
Untuk
mengetahui Alam Sebagai Tanda
3.
Untuk
mengetahui Alam Sebagai Manifestasi (tajalliyat)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Alam Sebagai Ciptaan
Dalam islam, alam, betapapun
besarnya dan kuatnya, tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang independen dalam
arti berdiri sendiri, dalam arti menciptakan dirinya sendiri (self-cretaing),
mengatur dirinya sendiri (self-regulating), atau beroperasi sendiri (self-operating), melainkan sesuatu yang
selalu terhubung dengan seuah Realitas
yang lebih tinggi , yang kita sebut Tuhan. Apapun teori penciptaan yang
dikembangkan , yang pasti alam selalu terhubung dengan yang kita sebut Tuhan.[3]
Seluruh perbuatan Tuhan dapat diringkaskan di bawah judul penciptaan dan
pengelolaan, karena pengelolaan tidak dapat dipisahkan dari penciptaan.[4]
Pola hubungan alam dengan Tuhan yang
paling ekstrim adalah konsep pantheisme[5],
yang memandang Tuhan adalah sama dan satu. Salah seorang filsuf yang mendukung pola ini adalah
Baruch Spinoza (w.1677), pemikir Belanda asal Portugis. Meskipun ia menamakan
alam dan Tuhan, tetapi ia tetap membedakan antara unsur yang pasif dari alam
yang disebut “Natura naturata”, dan unsur yang aktif darinya, yang
disebut “Natura naturans”. Jadi meskipun alam dan Tuhan dipandang satu
dan tak terpisah, tapi tetap tampak bahwa Tuhan adalah aspek aktif yang
memengaruhi kerja dan operasi alam, sehingga disebut Natura Naturans (aspek
alam yang menciptakan), sedangkan alam merupakan aspek pasif yang disebut
Natura Naturata (aspek alam yang diciptakan). Dengan demikian, sekalipun alam
dan Tuhan dipandang sama , keduanya dibedakan dari dua aspek:”activity”
(al-fi’l) dan “passivity” (al-infi’al), atau aspek
keaktifannya dan kepasifannya.
Para pemikir monoteisme pada umumnya
menggambarkan Tuhan, karena sifat Transenden-Nya, sebagai sesuatu yang jauh
dari alam. Dia adalah pencipta langit dan bumi yang mengatur dari
singgasana-Nya yang agung (‘Arsy), segala urusan alam semesta dari langit
hingga ke pusat bumi, Allah Swt. Berfirman :
يدبر الأمر من السماء إلى الأرض ثم يعرج إليه في يوم كان مقداره ألف
سنة مما تعدون
Artinya : “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah
seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Pola hubungan jarak jauh ini,
misalnya, ditunjukkan oleh aristoteles, al Kindi, maupun al-Farabi (w.950)
sebagai sebab utama dengan apapun yang ada dan terjadi di alam ini. Melalui
rangkaian sebab yang panjang. Atau sebagai hubungan antara “Penggerak Pertama”
dan apapun yang ada dan bergerak di alam, melalui rangkaian panjang
penggerak-penggerak yang megantarai peristiwa alam dan Tuhan. Meskipun begitu,
disini kita masih dapat melihat keterhubungan alam dan ketergantungannya pada
Tuhan.
Konsep
pola hubungan antara alam dan Tuhan menurut para tokoh, yaitu :
1.
Ibn Sina
Alam digambarkan sebagai “wujud yang mungkin” atau “wujud
potensial”, sebagai wujud potensial, alam sangat membutuhkan “Wujud lain yang
sudah aktual” yaitu Tuhan, “sebagai “Wajib al-Wujud”. Tuhan, dengan prinsip
aktualitasnnya, mampu mewujudkan alam dengan cara memindahkan “potensialitas”
alam ke dalam aktualitas. Wujud sesuatu boleh jadi niscaya (wajib/musti) dan
boleh jadi mungkin. Wujud yang niscaya adalah sedemikian rupa sehingga jika
sesuatu yang termasuk di dalamnya diandaikan tidak ada, kemustahilanlah yang
muncul. Eksistensi ang mungkin adalah sedemikian rupa sehingga jika sesuatu
yang termasuk di dalamnya diasumsikan tidak ada, tidak ada kemustahilan lain
yang muncul.[6]
2.
Suhrawardi
Alam digambarkan sebagai gabungan dari cahaya dan kegelapan. Cahaya
ada secara positif, sedangkan kegelapan tidak bisa dikatakan ada secara
positif. Simbolisme cahaya dipakai untuk menggambarkan masalah-masalah
ontologis dan khususnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis.
Simbolisme cahaya dinilai lebih dapat diterima untuk dapat membahas “kedekatan”
dan “kejauhan” dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika
simbolisme cahaya digunakan semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu
cahaya dari segala cahaya, semakin terang cahaya tersebut.[7] Keberadaan alam yang masih
potensial, memerlukan cahaya untuk memunculkannya di alam kenyataan. Alam pada
dirinya adalah seperti benda-benda yang ada dalam sebuah ruangan yang gelap
gulita, apabila kita memasuki ruangan tersebut, kita tidak bisa menemukan apa-apa
. namun, itu tidak berarti bahwa disana tidak ada suatu apapun. Kita memerlukan
cahaya untuk melihat benda-benda yang ada didalamnya. Ketika kita menyalakan
lampunya , bermunculahlah benda di dalam ruangan tersebut. Ini mengisyaratkan
bahwa alam, yang sudah berada pada potensi, baru akan muncul atau tercipta
dalam bentuk nyata apabila cahaya Tuhan telah menyentuhnya. Cahaya adalah
“substansi” yang terang pada dirinya, dan yang akan membuat terang. Jadi
penciptaan disini harus kita pahami sebagai permunculan alam sebagai potensi ke
dalam aktualitas melalui pencahayaan atau iluminasi. Suhawradi menyebut alam
“al-faqir”, yang membutuhkan. Sedangkan Tuhan “al-Ghani”, yang serba kecukupan
dan tidak memerlukan suatu apapun.
3.
Mulla Shadra
Mulla Shadra menggambarkan Tuhan sebagai Wujud Murni (al-Wujud
al-Mahdh). Wujud murni disini harus
dipahami sebagai “Wujud atau Ada itu sendiri”, bukan “ada-ada yang lain “.
Tuhan sebagai Wujud Murni mutlak diperlukan oleh alam, karena ia merupakan
syarat utama bagi keberadaan alam. Sebagai syarat bagi segala yang ada maka
Wujud Murni atau Tuhan, tidaklah berada jauh dari, tetapi justru berada dalam,
jantung atau inti terdalam dari segala sesuatu yang ada yang kita sebut alam.
Pola hubungan yang lebih dekat
antara Alam dan Tuhan dari kaum Teolog dan para sufi,yaitu:
a.
Mu’tazilah
Memandang Tuhan sebagai jauh, Tuhan
bukanlah agen yang langsung mengatur alam, tetapi dia mengaturnya melalui
“sunnatullah” yang mereka samakan dengan hukum alam . bahkan mersandar pada ayat-ayat
Al-Quran “tidak akan pernah ada perubahan pada sunnatullah”(QS.33:62;48:23),
mereka berkata bahwa hukum alam ini sudah fixed dan tidak bisa dirubah
oleh siapapun, termasuk oleh Tuhan.
b.
Asy’ariyah
Bagi mereka Tuhan adalah agen utama
yang mengendalikan alam dan menjadi
sebab langsung bagi apapun peristiwa yang ada di alam ini. Berdasarkan pada
banyak ayat Al Quran, kaum Asy’ari mencoba menyingkirkan semua perantara yang
biasa disebut “sebab-sebab sekunder” yang mengantarai Tuhan dengan alam.
Keyakinan
ini telah mereka perkuat dengan teori atom, yang menurut Majid Fakhr, mereka
ambil dari sumber India. Menurut teori ini alam tediri dari atom-atom, tetapi
atom-atom ini hanya bertahan satu dua saa. Maka untuk menjaga kelangsungannya,
Tuhan harus menciptakan atom-atom baru setiap kali atom-atom lama musnah.
Dengan demikianlah, terlihatlah betapa dekatnya Tuhan dengan alam dan betapa
tergantungan keberadaannya pada Tuhan dan aktivitas-aktivitas-Nya.
Para sufi dengan pendekatan intuitifnya,
memandang Tuhan sangat dekat dengan manusia. Kedekatan alam, khususna manusia,
dengan Tuhan juga tergambar dalam konsep-konsep tertentu daripada sufi, seperti
ittihad (The Mystical Union) oleh Abu Yazid al-Busthami, dan konsep al-Hullul
(Incarnation) oleh al-Hallaj.mereka menggambarkan kemungkinan terjadina
kesatuan eksistensial antara hamba dan Tuhan, dan peleburannya ke dalam sebuah
kesatuan, apakah dengan cara sang hamba mendekati Tuhan, seperti dalam kasus ittihad,
atau Tuhan yang mendekati hamba-Nya seperti dalam kasus al-Hullul,
selagi manusia hidup di dunia ini. Dalam kasus al-Busthami atau al-Hallaj,
manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan masih digambarkan sebagai dua
macam wujud yang dipersatukan, Ibn Arabi justru menghapuskan dualisme wujud
tersebut, karena baginya, wujud yang sebenarnya hanyalah satu, Tuhan yang Maha
Esa. Sedangkan yang lain, yang kita sebut alam, hanyalah bayangan yang tidak
bisa dikatakan wujud dalam arti sesungguhnya. Disini seakan Tuhan dan alam itu
adalah satu dan sama, seperti pandangan pantheisme. Namun, karena para sufi,
termasuk ibn ‘Arabi, masih mengakui sifat tanzih atau transendensi Allah
di samping tasybih atau imanensinya, maka pengidentifikasian ajaran wahdat
al-wujud Ibn ‘Arabi dengan pantheisme adalah kurang tepat. Istilah yang
lebih cocok adalah “panentheisme” yang diajukan oleh filsuf penyair modern, Sir
Muhammad Iqbal,yang masih mengakui bukan hanya imanensi tetapi juga Trasendensi
Tuhan.
B.
Alam Sebagai Tanda
Berbeda dengan pandangan ilmiah Barat yang seperti
“difatwakan” Darwin (w.1882) melarang ilmuan untuk membawa-bawa Tuhan dalam
penjelasan atau tulisan ilmiah, islam justru menganjurkan umatnya termasuk para
ilmuannya, untuk selalu mengaitkan Tuhan dengan fenomena alam, karena alam tak
lain dari pada tanda-tanda kebesaran Allah (ayat allah). Dengan demikian alam
tidak boleh dibaca (dikaji ,diteliti) semata untuk dan pada dirinya saja
sebagai entitas yang independen daari hubungan apapun dengan Realitas-realitas
yang lebih tinggi. Berhenti membaca alam sebagai dirinyan karena itu akan sama
dengan berhenti pada tanda saja, padahalnya selayaknya tanda itu adalah
pentunjuk bagi adanya yang di tandai . ini juga akan sama dengan orang ingin
memetik mawar dari M.A.W.A.R. kata Rumi, “bisakah kita menyunting setangkai
mawar dari M.A.W.A.R? Tentu saja tidak karena kalau begitu anda baru menyebut
nama saja tidak, (name) .maka ,carilah olehmu yang empunya nama (The Named). Demikianlah
alam, dalam pandangan islam bertindak sebagai ayat-ayat Allah. Bukanlah Allah
berfirman:
“sesungguhnya dalam penciptaanya langit dan
bumi dan bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda (Allah) bagi merka
yang berfikir”(QS.3:190).
Berbicara
tentang alam sebagai ayat Tuhan, para sarjana Muslim telah membagi
ayat-ayat tersebut ke dalam dua
kategori: yang pertama ,ayat ayat Kauniyyah yakni tanda –tanda yang
terdapat pada suci, khusunya al-Quran. Kedua tanda ini, karena berasal daari
sumber yang sama, yaitu Tuhan, bersifat saling mengisi. Ini terbukti dari
ayat-ayat al-Quran yang begitu akurat menjelaskan fenomena alam tertentu, baik
yang terjadi pada alam, ada pun pada diri manusia, semisal pemberitaan al-Quran
tentang perkembangan janin dalam rahim sang ibu. Dan ini telah mengispirasi banyak
penulis untuk menghasilkan karya yang mencoba mengawinkan antara ayat –ayat
kauniyyah dengan ayat Qauliyah.[8]
Pertanyaan
sekarang adalah “mengapa Tuhan menciptakan alam besar dan tinginya ?”
jawabannya adalah untuk menjadi tanda bagi kebesaran dan ketinngian karena,
kalau ciptaannya mestilah besar juga, bahkan lebih besar daripada ciptaanya
,karena mustahil bagi akal bahwa pencipta lebih kecil dari pada ciptaanya. Hal
sama berlaku juga bagi ketinggian. Kalau kita mau mengukur ketinggian langit ,
bayangkan saja ini. Jarak bumi ke bulan, yang mrupakan planet bumi ,rata - rata
adalah 480.000km.
Selain
kebesaran, ketinggian ,dan keindahan alam juga merupakan tanda yang nyata dari pada
sifat kasih sayang Tuhan. Ketika seseorang lahir ke dunia, ia menemukan semua
kebutuhan pokok kehidupannya telah tersedia begitu saja dunia ini: udara atau
oksigen zat yang sangat penting bagi kehidupan manusia, air, tanah, api, tumbuh
- tumbuhan dan hewan. Inilah kebutuhan-kebutuhan paling pokok bagi kelangsungan
hidup manusia, yang tanpanya tak bisa dibayangkan adanya kehidupan manusia
dimuka bumi ini. Selain nikmat yang ada di sekitar manusia , ia juga dikaruniai
Tuhan dengan berbagai nikmat berupa berbagai organ penting yang ada pada
dirinya seperti otak yang merupakan pusat sistem saraf manusia :jantung yang
merupakan pusat sistem sirkulasi darah, paru-paru yang merupakan pusat sistem
pernapasan; perut, yang merupakan pusat sistem percanaan ,dan alat kelamin yang
merupakan pusat sistem reproduksi[9]. Maka Allah lah
satu-satunya wujud yang telah memberi begitu banyak karunia, bahkan tak
terhitung banyaknya, tanpa pamrih dan juga tanpa diminta. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa karunia Tuhan, berupa nikmat yang melimpah ruah, bagi
orang-orang beriman, merupakan tanda(ayat) yang begitu meyakinkan bagi sifat
kasih sayang Tuhan yang diekspresikan dalam al-quran sebagai al - Rahman dan
al-Rahim.
Inilah
beberapa sifat Tuhan utama yang tanda-tandanya dapat kita terpantul pada alam semesta. Meskipun begitu
, tidak berarti bahwa alam elah hanya merupakan tanda dari sifat-sifat yang telah kita diskusikan saja . menurut
pandangan saya, alam dapat menjadi tandaknyaa dari 99 sifat atau nama-nama
Tuhan yang indah (al-asma’ al-husnah). Pembahasan kita pada sifat
kebesaran,ketinggian keindahan ,dan kasih sayang, semata-mata hanyalah
dimaksudnya sebagai pembatasan pembahasan, dengan harapan bahwa mereka
(sifat-sifat tersebuta) telah mampu mewakili dan menjelaskan poin utama yang
saya ingin sampaikan, yakni alam sebagai tanda (ayat) dari penciptannya ,bukan
hanya dari sudut keberadaanya, seperti yang telah dibahas pada bagian lain,
tetapi juga dari sudut sifat-sifat nya.[10]
C.
ALAM SEBAGAI MANIFESTASI (
TAJALLIYAT )
Berbeda dengan alam sebagai tanda,
di mana alam di gambarkan sebagai refleksi atau bayangan dari sifat- sifat
Allah swt, dengan ia seolah “ berada “ di luar atau di atas alam, alam sebagai
menifestasi Tuhan menunjukkan bahwa alam adalah tempat bermanifestasi, atau
menggunakan istilah ‘Abd al –karim al – jili, mazhhar tajalli tuhan, baik dari
sudut nama – nama (asma’), tindakan – tindakan (af’al), maupun esensi (dzat)
nya. Di lihat dari pola hubungan dan tuhan, ‘manifestasi‘, mengesankan keadaan
lebih dekat (imanen) ketimbang pola hubungan alam tuhan pada “alam sebagai
tanda“ dimana tuhan di gambarkan sebagai sesuatu yang masih berada di luar alam
(transenden).
Hegel (w.
1831), seorang filsuf idealism jerman, membayangkan bahwa tuhan berada di dasar
semua perkembangan alam pada level- level nya yang berbeda, yang semakin
meningkat melalui proses dialektika dan
menemukan kesadarannya pada manusia. Dalam islam, pandangan yang mengatakan
bahwa tuhan menjadi fondasi dasar dari segala yang ada, dapat di temukan.
Sebagai syarat bagi semua yang ada, maka Tuhan yang di sebut sebagai “ wujud murni
“ atau “ wujud itu sendiri “ haruslah berada di jantung semua entitas, meskipun
ia tidak sama dengan wujud- wujud yang ada di dunia ini. Pandangan Maulana
Rumi, bahwa alam adalah ” tuhan dalam penyamaran “ ( god in disguise ), ketika
menafsir Allah sebagai “al- zhahir“, memberi kesan bahwa apapun yang
tampak pada alam tidak lain dari pada manifestasi tuhan, tetapi bukan tuhan itu
sendiri, karena menifestasi tuhan itu hanyalah samarannya. Bahwa tuhan menjadi
dasar imanen bagi alamdan manusia bisa di lihatdari pernyataan Rumi bahwa “
tuhan ada di hatinya “, yakni di jantung dirinya yang paling dalam, bukan di
tempat lainnya.
Sekarang
marilah kembali pada al- jili yang memandang alam sebagai tempat ber- tajalli
atau bermanifestasi tuhan, khususnya dari aspek asma ( nama- nama ) dan af’al (
tindakan- tindakan ). Nama- nama tuhan ini biasanya dalam literatur kalam di
sebut sifat – sifat tuhan. Dalam kaitan ini, sebagaimana pada diskusi kita
tentang alam sebagai tanda ( ayat ) sifat- sifat Allah swt, maka di sini pun
alam di kaitkan dengan sifat- sifatnya, bukan sekadar sebagai tanda saja,
tetapi sebagai manifestasi sifat- sifatnya-Nya yang menentukan dan
mengarahkanperkembangan alam sebagai ‘ self- unfolding ‘ tuhan. Ketika kita
bicara sifat kuasa tuhan, maka kekuatan- kekuatan besar dan spektakuler yang di
pamerkan dalam alam, misalnya dalam letusan gunung, angin topan, kekuatan atom,
dan sebagainya adalah manifestasi sifat kuasa tuhan pada alam, bukan hanya
sebagai refleksi atau bayangan-Nya.
Akan tetapi,
juga perlu kita ingat bahwa tajalli atau manifstasi sifat- sifat atau nama-
namaini tidak hanya terjadi pada alam raya, tetapi terjadi juga pada manusia.
Al- jilli, misalnya mencontohkan tajalli asma yang terjadi pada diri al-
hallaj. Biasanya ketika tajalli terjadi pada manusiabaik tajalli nama ataupun
perbuatan, maka tuhan akan menggantikan nama atau tindakan manusia secara
konplit sehingga mereka tidak lagi menjadi milik manusia. Nah, ketika nama
tuhan ber- tajalli pada diri al- hallaj, maka di katakan nama la- hallaj telah
tiada ( fana ), yang ada adalah tinggal nama al- haqq ( sang kebenaran ). Pada
saat itulah al- hallaj mengatakan ana al- haqq, yang berarti ( aku adalah
kebenaran ) atau ( aku adalah tuhan ).
Berikut ini
saya akan coba untuk memberikan contoh yang gambling dari tajalli af’al (
tindakan ) allah yang terjadi pada manusia. Lagi- lagi seperti pada
kasustajalli asma’, dalam tajalli af’al pun, apabila itu terjadi pada manusia,
maka af’al atau tindakan- tindakan tuhanlah yang menggantikan tindakan-
tindakan manusia. Ini mislanya dapat di lihat dari ayat al-qur’an “ bukan
engkau ( ya Muhammad ) yang melempar ketika engkaunmelempar, melainkan A
llah-lah yang melemparkannya “ (QS.8”17 ).
Ayat di atas
menunjukkan terjadinya tajalli af’al pada diri Nabi Muhammad, yang meskipun
secara historis beliau yang melemparkan ( senjata ) pada masa perang, tetapi di
katakana bukan Nabi kita yang melemparkannya, melainkan Allah sendiri yang
melakukannya. Mengapa? Karena sebenarnya pelemparan yang di lakukan nabi kita
tidaklah muncul dari keinginan hawa nafsu-nya sendiri, tetapi karena mengikuti
perintah Allah, sehingga pada hakikatnya Allah-lah yang melemparkannya.
Terdapat dalam ayat yang lain mengatakan bahwa “ Nabi kita berkata tidak
berdasar pada hawa nafsunya sendiri, maka apapun yang di katakannya itu adalah
perkataan dan wahyu Allah juga “ ( QS.53:3-4 ).
Pernyataannya
sekarang, bisakah tajalli af’al ini terjadi pada orang- orang selain nabi ?
jawabannya mungkin saja. Dalam sejarah pemikiran islam, para sufi di kenal
sebagai orang- orang yang berusaha membersihkan dirinya dari segala pengaruh
hawa nafsu. Berdasarkan diktum bahwa “ segala tindakan yang di lakukan bukan
berdasarkan hawa nafsu, tetapi semata- mata karena mengikuti perintah Allah,
maka tindakan tersebut pada hakikatnya adalah tindakan Allah itu sendiri, maka
boleh jadi mereka (para sufi yang telah berhasil membersihkan diri mereka dari
hawa nafsu) adalah orang- orang, selain nabi yang di jadikan sebagai mazhar tajalli
af’al Allah.
Orang- orang
suci tersebut telah di jadikan instrument oleh Allah
untuk menyampaikan pesan-Nya,atau menyalurkan tindakan dan kehendak-Nya. Dari
sini, di kenallah istilah atau ungkapan “ Allah melihat lewat mata mereka,
mendengar lewat telinga mereka, dan berkata lewat lidah mereka,” berdasarkan
hadis Qudsi yang di riwayatkan dari Abu Hurairah yang terjemahannya kurang
lebih:” Hamba-ku terus saja mendekati-Ku lewat nawafil, sampai aku
mencintainya, sehingga aku menjadi indra pendengarannya lewat mana ia
mendengar, dan indra penglihatannya, lewat mana ia melihat dan tangannya, lewat
mana ia menggenggam dan kakinya, dengan mana ia berjalan”( shahih Bukhari 8:
509 )
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tidak ada yang sia – sia segala
sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah. Hikmah – hikmah mengalir dari setiap
apa yang diciptakan. Allah menciptakan alam semesta dengan tujuan dan fungsi –
fungsinya. Alam sebagai ciptaan Allah sebagai perwujudan dari kekuasaannya.
Alam sebagai tanda kebesaran Allah, Allah menunjukkan kebesaran-Nya kepada
semua makhluknya melalui tanda – tanda yang ada di alam dan yang ada pada diri
manusia sendiri. Tidak ada yang sehebat Allah, yang menciptakan manusia dengan
segala fungsi dan kesempurnaan bentuk. Tidak ada yang bisa menciptakan Langit
tanpa tiang, bumi tanpa gantungan selain Allah. Alam juga sebagai manifestasi
ialah Allah menciptakan alam, Allah menciptakan dunia dari yang tidak ada
menjadi ada.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriyadi, Filsafat
Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya), (Bandung:Pustaka Setia,2009), p.135
Hizair
MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: TAMER, 2013).
Ibid.,hal.187.
Ibn Khaldun. The
Mqaddimah, trans. Franz Rosenthal. New Jersey: Princeton Uniersity
Press,1981.
Ibn Sab’in . Budd
al-‘Arif, ed.Dr. George Kitturah. Beirut : Dar al-Andalusia dan Dar
al-Kindi, 1978.
Iqbal, Sir Muhammad. The
Reconstruction of Religious Thought in is lam.New Delhi :Kitab Bhavan,1981.
Muhammad Taqi Misbah Yazdi,
Filsafat Tauhid, (Bandung:Penerbit Arasy,2003),p.126
Mulyadi Kartanegara. Lentera
Kehidupan,(Bandung: Penerbit Mizan,2017),p.71
Ramadhani, dkk. Al – Qur’an
vs Sains Modern menurut DR.Zakir Naik, (Yogjakarta: SKETSA).
[1]
Ramadhani, dkk. Al – Qur’an vs Sains Modern menurut DR.Zakir Naik, (Yogjakarta:
SKETSA), hal.221
[2] Hizair
MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: TAMER, 2013)
[3] Mulyadi
Kartanegara. Lentera Kehidupan,(Bandung: Penerbit Mizan,2017),p.71
[4] Muhammad
Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, (Bandung:Penerbit Arasy,2003),p.126
[5] Hizair
MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Penerbit TAMER, 2013).
Pantheisme adalah pemujaan kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan.
[6] Dedi
Supriyadi, Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya),
(Bandung:Pustaka Setia,2009), p.135
[7] Ibid.,hal.187.
[8] Ibn
Sab’in . Budd al-‘Arif, ed.Dr. George Kitturah. Beirut : Dar
al-Andalusia dan Dar al-Kindi, 1978
[9] Iqbal,
Sir Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in is lam.New
Delhi :Kitab Bhavan,1981
[10]Ibn
Khaldun. The Mqaddimah, trans. Franz Rosenthal. New Jersey: Princeton
Uniersity Press,1981