Rabu, 10 Oktober 2018

Makalah konsep syariah abdul karim zaidan


BAB I
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH ABDUL KARIM ZAIDAN

A.    Makna Syariah
Syariah secara bahasa adalah madzhab dan jalan yang lurus. Syariah seperti sumber air atau air yang mengalir yang di peruntuk untuk minum, dan syariah menjelaskan dan menerangkan masalah masalah, dan syariah itu menjelaskan syariat atau sunnah - sunnah. Secara istilah syariat adalah suatu aturan dalam agama untuk beribadah kepada Allah SWT. dari hukum yang berbeda beda. Da ini dinamakan hukum – hukum syariah baik yg membangun dan yang menyerupainya dengan maksud seperti air karna dengan iar tersebut jiwa dan akalnya hidup. Syariat dan agama memiliki satu makna yaitu aturan  aturan dan hukum – hukm untuk beribadah kepada Allah. Akan tetapi hukum hukum ini dinamakan syariah.
Pengertian Syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT yang ditujukan untuk hamba-Nya, baik melalui Alquran ataupun dengan Sunnah Nabi Saw yang berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan. Seperti dalam firman Allah SWT
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا

B.     Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
            Secara etimologis (Lugawi) maqashid al-syari’ah terdiri dua unsur kata, yaitu maqashid ((مقاصد dan al-syari’ah. Kata “مقاصد" adalah jamak dari kata “مقصد", yang berarti tujuan atau maksud. Sedangkan kata al-syari’ah (الشريعة) berakar dari kata kerja Syara’a (شرع) yang berarti undang-undang, aturan dan syari’at. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah مقاصد الشريعة dapat diartikan dengan tujuan atau maksud penetapan hukum syara’.[1]
            Dikalangan ulama ushul terdapat perbedaan istilah antara satu dengan lainnya. Muhammad Abu Zahrah,[2] misalnya, menyebutnya dengan Maqashid al-Ahkam (مقاصد الاحكام ). Sementara itu Zaky al-Din Sya’ban dan Abdul Wahab Khalaf mengistilahkan dengan Maqashid al-tasyri’ (مقاصد التشريع ).[3] Sedangkan maqashid al-syari’ah merupakan istilah yang digunakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syatibi dan Abdul Karim Zaidan. Sekalipun terdapat perbedaan istilah dikalangan ulama ushul, tetapi mengandung pengertian sama.[4]
            Adapun secara terminologis (istilah), sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah ialah ketentuan-ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah untuk kemaslahatan manusia.;[5]
( ان الا حكام شرعت لمصالح لعباد)
Sementara itu, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan pengertian  maqashid assyari’ah  sebagai berikut:[6]

ومن المتفق عليه بين جمهور العلماءان الله سبحانه لم يشرع حكامه الا لمقاصد عامة وان هذه المقاصد ترجع الى جلب المنافع للناس ودفع المفاسد عنهم واخلاء العالم من الشرورو الاثام.
“Sebagian besar jumhur ulama telah sepakat bahwa Allah SWT. tidak mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi manusia dan sekaligus menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan dosa.”
               Dalam hubungan ini, Abdul Karim Zaidan juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah itu ialah menyangkut upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia serta mempertahankan eksistensi kemaslahatan tersebut. Imam Abu Ishaq al-Syatibi menyebutkan bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum ialah untuk kemaslahatan umat manusia, baik didunia ini maupun diakhirat nanti. Kemaslahatan disini ialah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan mereka.
               Sejalan dengan pandangan al-Syatibi diatas, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa Allah tidaklah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini dari maksiat dan perbuatan dosa.[7] Maka untuk memahami maqashid al-syari’ah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits Rasulullah bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul, baik pada masa lalu maupun sekarang telah berupaya untuk menyelami maqashid al-syari’ah ini lewat ijtihad dan istinbat hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi tujuan pensyari’atan dapat direalisir dalam kehidupan umat.
               Atas dasar ini, maka dapat dipahami bahwa maqashid al-syari’ah – yang bermuara pada kemaslahatan adalah merupakan capaian akhir dari pensyari’atan hukum Islam. Dengan kata lain, seperti dikatakan oleh Asafri Jaya Bakri, bahwa kandungan  adalah maqashid al-syari’ah  kemaslahatan.[8] Selanjutnya, inti dari maqashid al-syari’ah ialah maslahat yang harus diwujudkan disatu pihak dan menghindarkan mafsadat dipihak lain. Secara etimologis, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa maslahat mengandung arti “ طلب الا صلاح “ yaitu mencari kebaikan. Sementara, mafsadat mengandung arti kerusakan dan keburukan yang membawa kerugian bagi kehidupan umat manusia. Mafsadat sering juga disebut dengan Mudarat.[9]
               Secara terminologis, menurut Abdul Karim Zaidan Maslahat ialah manfaat dan menolak kerusakan atau kemudaratan.

المصلحة هي جلب المنفعة ود فع المضرة اي المفسدة.
Atas dasar ini, maka esensi maslahat dan mafsadat dapat dilihat dari dua sisi. Abdul Karim Zaidan menjelaskan bahwa dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat ( ايجابي  ) maka ia disebut “ ايجاد المنفعة “ yaitu keharusan terwujudnya manfaat yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Bila dilihat dari sisi peniadaan kerusakan (  سلبي), maka ia disebut dengan istilah “ دفع المفسدة  “ yaitu menghilangkan dan menghindarkan kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi kehidupan umat manusia.[10]
Dari sini dapat dipahami bahwa konsep maslahat dan mafsadat dalam hubungannya dengan maqashid al-syari’ah merupakan suatu cara dalam melihat nilai-nilai maslahat yang harus diperjuangkan dan dipertahankan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan manusia baik didunia maupun di akhirat.

BAB II
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH MAHMUD SYALTUT

Mahmud Syaltut, syari’ah diartikan sebagai “aturan - aturan yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan  dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau non  muslim, alam dan seluruh kehidupan.”[11] Urgensi syariah dalam kehidupan manusia adalah dalam rangka terciptanya kemaslahatan manusia dalam menata kehidupannya dan meminimalisir apa yang mungkin menjadi mudlaratnya. Dalam skala global syariah diarahkan pada jalb al mashalih dan dar’ al mafasid. Dan dalam pengertiannya yang lebih luas syariah mencakup seluruh kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan ini dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.
Menurut Syaltut, syariah dan akidah merupakan satu sistim yang tidak dapat dipisahkan. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk menjalankan syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang berakidah. Karena itu menurut Syaltut manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan, ataupun manusia yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak dianggap seorang Muslim, dan juga tidak dihukumi Islam.
Syaltut juga menilai bahwa tujuan manusia melaksanakan perintah-perintah syariah bukan sebatas melaksanakan kewajiban Tuhan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana manusia bisa membersihkan dirinya dengan selalu mengarahkan hidupnya dalam konteks ibadah dan mencari ridla Allah Swt.
Dalam masalah ibadah menurut Syaltut, ibadah yang kita laksanakan bukanlah hanya menyangkut aspek ritualitas saja ataupun formalitas kewajiban, tetapi memiliki kandungan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta menyentuh aspek tarbiyah ruhaniyah diri manusia, dan juga bahkan menyentuh aspek-aspek sosial keidupan manusia. Dan semua itu diarahkan juga dalam membentuk integritas diri manusia sebagai makhluk yang bermoral.
Dalam masalah shalat misalnya, Syaltut berusaha mencari nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. shalat merupakan bentuk rutinitas hubungan yang berkesinam bungan dari manusia kepada Tuhannya, yang akan memben tuk integritas kepribadian muslim sejati yang akan membias dalam aspek-aspek prilaku kehidupannya. Karena itu, de ngan shalat keimanan seseorang akan dapat diukur. Shalat juga menurut Syaltut bentuk Rihlah Ilahiyah manusia dalam rangka penghambaan kepadanya dan mencari ridlaNya. Ibadah shalat juga bukanlah merupakan ibadah syhaksiyah murni antara manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengan dung nilai-nilai sosial kemanusian manusia kepada yang lainnya. Karena itu, disyariatkan kepada kita shalat jum’at dan shalat jamaah. Dan walaupun shalat dianggap ibadah yang paling berat, namun menurutnya kalau manusia mam pu memahaminya secara proporsianal serta dapat menem patkan pada tempatnya, mana yang azimah dan mana yang rukhsoh, niscaya tidak ada kata berat dalam melaksanakan ibadah shalat tersebut.
Zakat, puasa, dan haji menurut Syaltut merupakan ibadah yang banyak menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut refleksi sosial manusia sebagai makhluk Tuhan. Ibadah-ibadah ini punya fungsi dan peran yang besar dalam membentuk tatanan kehidupam masyarakat yang kontsruktif dan dalam membentuk sistim kehidupan masya rakat yang ideal dalam rangka menuju keadilan dan kemak muran masyarakat.
Kewajiban yang dibebankan manusia untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariahkan kepadanya kalau dilaksanakan berangkat dari semangat kemanusiaan dan semangat ketaatan dan pengabdian kepada sang Khaliq, maka manusia akan mampu menemukan nilai-nilai kebenaran dan identitas kemanusiannya sesuai yang diridlai Tuhan.
BAB III
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH JASEER AUDA

Shariah is based on wisdom and achieving people’s welfare in this life and the afterlife. Shari¢ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does not belong to the Shari¢ah, even if it is claimed to be so according to some interpretation.[12]
Dalam Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser Auda mengartikan Maqasid pada empat arti : Pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh hukum. Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mashalih.  Dalam konsep Maqasid yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama.[13]
Jasser Auda berusaha mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and preservation menuju pada teori maqashid yang mengacu pada development and rights. Teori maqashid yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan, terutama pada abad ke-20. Teori modern mengkritik klasifikasi kebutuhan (necessity)  di atas dengan beberapa alasan berikut ini: a). Scope teori maqashid meliputi seluruh hukum Islam; b). Lebih bersifat individual; c).Tidak memasukkan nilai-nilai yang paling universal dan pokok, seperti keadilan dan kebebasan (freedom); d). Dideduksi dari kajian literature fiqhi, bukan mengacu pada sumber original/script.[14]
Berikut ini gambaran teori maqashid kontemporer dari 3 dimensi baru:[15]
1.      Tingkatan Maqāṣid al-Syarīah
Para ulama’ kontemporer membagi maqāṣid kepada tiga tingkatan, yaitu maqāṣid ‘āmah (General maqāṣid / tujuan - tujuan umum), maqāṣid khāṣṣah (Specific maqāṣid / tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid juz`iyah (Partial maqāṣid / tujuan - tujuan parsial). Maqāṣid ‘āmah adalah nilai dan makna umum yang ada pada semua kondisi tasyri’ atau di sebagian besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan. Maqāṣid khaṣṣah adalah maslahat dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam syariah, seperti tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan dalam system keluarga, menakut - nakuti masyarakat dan efek jera dalam memberikan hukuman, menghilangkan gharar (ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. Sedang maqāṣid juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin direalisasikan dalam pentasyri’an hukum tertentu, seperti tujuan kejujuran dan hafalan dalam ketentuan persaksian lebih dari satu orang, menghilangkan kesulitan pada hukum bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang tidak sanggup berpuasa karena sakit, bepergian atau lainnya.
2.      Maqāṣid al-Syarī’ah dan ‘Illat
Al-‘illat dalam kajian usul fiqh adalah “sifat yang dijadikan oleh al-Syāri’ (Pembuat syariah) sebagai manāṭ (kaitan, patokan) bagi penetapan hukum berdasarkan persangkaan sebagai sarana merealisasikan tujuan Syariah dalam penetapan hukum”. Atau “sifat yang tampak (ẓāhir) dan terukur (munḍabit) yang karenanya hukum ditetapkan”.  Berdasarkan definisi di atas, para ahli ushul fiqh meletakkan beberapa syarat bagi ‘illat, secara umum ada empat syarat, yaitu sifat tersebut harus tampak (ẓāhir), terukur (munḍabit), bisa diberlakukan kepada realitas atau hal yang lain, tidak berlaku khusus (muta’addiy), dan mu’tabarah  dalam arti tidak ada teks yang menunjukkan bahwa sifat tersebut tidak dipakai.  Mayoritas ahli ushul fiqh berpedoman pada ta’līl al-ahkām, khususnya dalam bidang muamalah. Dalam hal ini para ulama membedakan antara ranah ibadah dan ranah muamalah. Dalam ranah ibadah, hukum asalnya adalah ta’abbud dan berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan kebiasaan hukum asalnya adalah melihat kepada makna dan maqasid, sebagaimana kaidah:
الأصل في العبادات التعبد دون الإلتفات إلى المعانى والمقاصد, وفي المعاملات الإلتفات إلى المعانى والأسرار والمقاصد
Berkenaan dengan ini mereka membuat kaidah:
  الحكم يدور مع علته وجودا وعدما 
Artinya, hukum berputar bersama ‘illat-nya, berlaku pada saat ada ‘illat-nya dan tidak berlaku pada saat hilang ‘illat-nya. Hanya sebagian kecil diantara ulama yang tidak berpedoman pada ta’līl alahkām, yaitu Dawud dan Ibn Hazm al-Dhahiri beserta pengikut mereka yang dikenal dengan madzhab Dhahiri. Mereka menolak untuk mengaitkan hukum dan teks-teks syariah dengan ‘illat serta mengajak untuk mengamalkan teks semata tanpa mencari ‘illat hukum, sehingga hukumnya tidak bisa diberlakukan pada selain obyek dari teks tersebut. Dengan demikian mereka adalah kelompok yang menolak qiyas sebagai salah satu sumber hukum. Kelompok yang berdekatan dengan mereka adalah ulama’ yang mengakui ta’līl al-ahkām, namun mempersempit ruangnya hanya pada illat yang disebutkan pada teks, dan tidak memberlakukan ‘illat yang berdasar pada akal dan logika, sehingga mereka tidak lepas dari teks dan tidak melakukan qiyas kecuali yang illatnya ditetapkan dalam teks.
Konsep ta’līl al-ahkām merupakan dasar dari konsep maqāṣid al-Syarī’ah sebagai filosofi penetapan hukum. Karena itu Madzhab al-Dhahiri menolak penggunaan maqāṣid al-Syarī’ah  dalam penentuan hukum, sebagaimana sebagian ulama’ mengakui maqāṣid al-Syarī’ah, namun membatasinya pada apa yang ada pada teks dan tidak membolehkan penggunaannya pada selain obyek teks tersebut. Sedang mayoritas ahli usul fiqh menekankan pentingnya penggunaan maqāṣid al-Syarī’ah sebagi instrumen penetapan hukum berdasarkan pengakuan mereka pada ta’līl alahkām. Bahkan Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa ta’līl al-ahkām dan mengaitkannya dengan hikmah dan kemaslahatan telah menjadi kesepakatan  (ijma’) ulama’ kecuali sebagian kecil saja. Menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai ‘illat sebagaimana di atas, menurut Jasser Auda kurang tepat. Hal ini karena maqāṣid al-syarī’ah dan hikmah berbeda dengan ‘illat sebagaimana didefinisikan oleh ulama’. Walaupun ‘illat merupakan representasi dari maqasid dan hikmah, namun secara spesifik, ulama’ klasik mensyaratkan ‘illat dengan empat syarat sebagaimana di atas, dan syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi pada maqāṣid dan hikmat al-syarī’ah. Karena itu Auda menekankan pentingnya penggunaan maqāṣid al-syarī’ah sebagai manaṭ hukum sebagaimana ‘illat. Dia mengusulkan alternatif kaidah baru sebagai pengganti kaidah lama, yaitu:
  تدور الأحكام الشرعية العملية مع مقاصدها وجودا وعدما كما تدور مع علتها وجودا و عدما
Hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah bersama maqāṣhid (tujuan-tujuannya) sebagaimana ia bersama illat-nya, ada atau tidak ada. 
Jasser Auda menggagas maqāṣid al-syarīah  dengan pendekatan system sebagai pisau analisis dalam kajian hukum Islam. Menurut Auda, penggunaan maqāṣid al-syarī’ah dengan pendekatan system ini harus memperhatikan semua komponen yang ada dalam system hukum Islam, yaitu cognitive nature (pemahaman dasar), wholeness (Keseluruhan), openness (keterbukaan), interrelated hierarchy (hirarki yang saling terkait), multi-dimensionality (multi dimensionalitas) dan purposefulness (orientasi tujuan) hukum Islam.
3.      Maslahat dan Pengembangannya
Menurut al-Syatibi, kemaslahatan manusia akan dapat terealisasi jika kelima unsur pokok kehidupan manusia dapat terealisasi dan dipelihara yakni agama atau keyakinan, jiwa, akal, keturunan dan harta. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa al-Syatibi membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat,28 dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam al-Syatibi menyimpulkan29 bahwa keterkaitan antara tingkatan-tingkatan almaqasid dapat diuraikan sebagai berikut: (1) maqashid daruriyat merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat. (2) kerusakan pada maqasid daruriyat akan membawa kerusakan pula pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat. (3) sebaliknya, kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat tidak dapat merusak maqasid daruriyat. (4) kerusakan pada  maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat  yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqasid daruriyat. (5) pemeliharaan maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid daruriyat secara tepat. Dengan demikian, jika kita perhatikan, maka ketiga tingkatan al-maqasid tersebut tidak dapat kita pisahkan satu dengan yang lain. Tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat hajiyat, sedangkan daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. Keterkaitan antar ketiga kemaslahatan tersebut merupakan ruh yang terdapat dalam Islam, dan saling menyempurnakan. Penekanan utama dalam kemaslahatan tersebut adalah kemaslahatan primer (daruriyat), karena menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap manusia untuk meneguhkan dimensi kemanusiaannya. Jika nilai-nilai tersebut dilanggar, maka dapat dipastikan bahwa hak dan identitas kemanusiaan akan berkurang, karena sejatinya, nilai-nilai tersebut harus menjadi pijakan politik, ekonomi dan keberagamaan, sehingga pandangan politik, ekonomi dan keberagamaan tidak berseberangan dengan isu-isu kemanusiaan, seperti kebebasan beragama, berpendapat dan berekspresi, hak reproduksi, hak hidup, hak atas kepemilikan harta benda dan lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa al-masalih menurut pandangan ahli ushul mencakup ibadah, muamalah, dan adat dalam tiga tingkatan, yaitu,  al-masalih addharuriyah merupakan tingkatan pertama, al-masalih al-hajiyah berada pada tingkatan kedua, dan terakhir al-masalih at-tahsiniyah sebagai pelengkap. Kegelisahan akan terjadi manakala kita mencermati karakteristik unsur-unsur  pada tingkatan ad-dharuri dan at-tahsini. Al-Dharuriyah terdiri dari lima unsur seperti disebutkan di atas. Perumpunan unsur-unsur tersebut dalam bingkai ad-dharuri memunculkan pertanyaan yaitu apakah al-dharuri hanya terbatas pada lima unsur saja? dan mengapa lima unsur itu dikhususkan pada masalih ad-dharuriyah? Adalah tidak mungkin mengidentifikasi aldharuri hanya terbatas pada lima unsur semata, di samping tidak memenuhi syaratsyarat logika, juga tidak menggunakan metodologi yang cermat, di samping itu juga terkesan kurang detail karena masih terbuka pintu masuk bagi unsur-unsur lain ke dalamnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika sebagian ahli ushul memasukkan al'ardh (harga diri) dan al-'adl (keadilan). Lagi pula antara satu unsur dengan unsur yang lain masih sulit dibedakan. Misalnya, melindungi jiwa dan melindungi akal tidak dapat dipisahkan sehingga satu dengan yang lain tidak ada yang menjadi prioritas. Spesifikasi dari lima unsur tersebut juga tidak jelas terutama antara unsur-unsur tersebut dengan sumbernya. Misalnya ad-din menjadi salah satu unsur ad-dharuri, namun kalau dicermati istilah ad-din identik dengan istilah syariah. 
Melihat pertimbangan ini, maka al-ushul al-khamsah (lima jenis dharuriyat) harus diposisikan pada tingkatan al-qiyam al-akhlaqiyah al-'ulya (nilai-nilai moral yang tertinggi). Sepertinya inspirasi sebagian kaum ushuli terutama Syatibi dengan as-sabgah al-akhlaqiyah (karakter etika) terhadap al-ma'ani al-khamsah, menggiring mereka untuk berpendapat bahwa semua agama sepakat untuk melindungi lima unsur dalam addharuriyat dengan klaim bahwa kelima makna tersebut bersifat abadi dan diakui oleh fitrah manusia yang sehat.  Jenis-jenis al-masalih sesungguhnya, tidak mungkin terbatas pada lima unsur, dan tidak mungkin pula terpisah dengan nilai-nilai moral (al-qiyam al-akhlaqiyah), di samping itu makarim al-akhlaq pun masuk ke semua tingkatan al-masalih mengharuskan konstruksi baru dalam pengklasifikasian al-masalih. Klasifikasi almasalih32 yang relevan dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat saat ini harus memenuhi kriterium sebagai berikut; (1) qiyam al-naf’i wa ad-dharar (nilai-nilai manfaat dan madarat). Nilai-nilai (al-qiyam) yang masuk dalam kriteria ini adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan jiwa, kesehatan, keturunan, dan harta. (2) qiyam al-husn wa al-qubh (nilai-nilai baik dan buruk) atau dapat disebut al-masalih al‘aqliyah. Artinya bahwa al-ma'ani al-akhlaqiyah dapat menegakkan berbagai kebajikan dan keburukan (al-mahasin wa al-maqabih) yang mencakup seluruh konstruksi kejiwaan dan intelektual. Kemaslahatan yang masuk dalam al-ma'ani ini tidak terbatas, antara  lain rasa aman dan merdeka, pekerjaan, keselamatan, kebudayaan, dan dialog. (3) qiyam as-salah wa al-fasad (kerbaikan dan kerusakan) atau di sebut al-masalih arruhiyah. Artinya al-ma'ani al-akhlaqiyah yang dapat menegakkan semua al-masalih dan al-mafasid dan mencakup seluruh potensi spritual dan moral. Termasuk dalam bagian ini adalah agama dari aspek spritual keagamaan, semisal al-ihsan, ar-rahmah, al-mahabbah, khusyu', dan tawadu'.

BAB IV
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH YUSUF AL QORDHOWI

Syaikh Al-Qardhawi mengatakan, syariah menurut pandangan islam sangatlah luas dan komprehensif (al-syumul). Di dalamnya  mengandung  makna  mengatur  seluruh  aspek  kehidupan, mulai dari aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan nya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, nafkah, wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri,  perbankan, asuransi, utang-piutang, pemasaran, hibah),  aspek ekonomi  (permodalan,  zakat,  bait  al-mal,  fa’I, ghanimah), aspek  hukum peradilan, aspek undang-undang hingga hubungan antar negara.
Maqashid al-syari’ah secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.Maqashid, adalah bentuk jamak dari maqsủd, yang berarti “kesengajaan atau tujuan.”Syari’ah, secara bahasa berarti “jalan menuju air.”
Secara terminologis, Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam dan menetapkan syari’at, karena segala sesuatu hal yang disyari’atkan allah didalam syari’at pasti mengandung tujuan dan maksud yang akan kembali kepada kemaslahatan hamba/manusia baik didunia maupun diakhirat, semua itu menunjukkan rahmat allah yang begitu luas yang dia limpahkan kepada makhluknya.
Menurut Qardhawi kata syari’at itu adalah diartikan dengan agama secara utuh yang mencakup segala aspek, baik itu ibadat, hukum muamalat dan juga aqidah, kalimat syari’ah merupakan asal kata dari شرع yang bermakna “menjelaskan” atau berasal kata dari “ الشرعة"” (syir’ah ) yang bermakna secara bahasa berarti “jalan menuju air” Qardhawi menegaskan bahwa kalimat “شرع” baik dalam bentuk isim dan bentuk fi’il yang terdapat didalam al-qur’an hanya ada lima kali disebutkan, dan terbukti bahwa kalimat “الشريعة” hanya terdapat dalam surat al-Jatsiyah : 18, dan surat ini adalah surat makkiyah yang mana surat ini diturunkan sebelum adanya hokum, dari sini kita mengetahui bahwa kalimat syari’ah adalah kalimat yang mengandung makna “agama” secara keseluruhan baik itu aqidah, muamalah, ibadat dan lainnya.
Qardhawi juga mengatakan bahwa “ sungguh sangat keliru para دعاة العلمانيين"” (aktivis liberal) bahwa kalimat syari’ahitu hanya bermakna “hokum saja” tidak termasuk didalamnya ranah “Aqidah”, padahal kalimat “Aqidah” juga tidak ada ditemukan dalam al-qur’an, jadi mengapa dipisahkan antara aqidah dengan syari’ah? Dan sesuatu yang sudah menjadi hal yang qath’I bahwasanya al-qur’an itu mencakup segala aspek: aqidah, muamalat, hokum, akhalq dll. Namun hari ini pelafalan syari’ah aitu diartikan dengan 2 makna yaitu: agama secara umum dan fiqih secara khusus, namun yusuf qardhawi lebih dominan yang dimaksud dengan syari’ah itu adalah segala bentuk yang terkait dengan agama, adapun pengkhususan para ahli ushul fiqih dengan “ الكليات الخمس” dengan maqashid syari’ah itu adalah tidak menafikan akan pencakupannya terhadap aqidah.
Jadi,menurut Yusuf Qardhawi yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan umum yang diinginkan oleh nash-nash syar’i , baik berupa perintah, larangan dan mubah. Atau bisa juga diartikan bahwa Maqashid al-Syari’ah itu adalah hikmahdisyari’atkannyasuatu hokum, dan bukan Illat hokum, karena Illat hokum itu adalah sebab adanya hukum dan bukan tujuan hukum, sebgai contoh “ illat hokum boleh mengqashar Shalat adalah Safar namun hikmahnya adalah Masyaqqoh (adanya kesusahan dalam safar).



BAB V
KESIMPULAN
Syariah adalah sebuah aturan aturan atau hukum hukum yang mengatur peribadahan kepada Allah.
Menurut Abdul Karim Zaidan Syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT yang ditujukan untuk hamba-Nya, baik melalui Alquran ataupun dengan Sunnah Nabi Saw yang berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan. Seperti dalam firman Allah SWT
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا
Menurut Jasser Auda dalam bukunya Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach, Shariah is based on wisdom and achieving people’s welfare in this life and the afterlife. Shari¢ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does not belong to the Shari¢ah, even if it is claimed to be so according to some interpretation.
Sedangkan menurut Yusuf Al Qodhawi Maqosid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam dan menetapkan syari’at, karena segala sesuatu hal yang disyari’atkan allah didalam syari’at pasti mengandung tujuan dan maksud yang akan kembali kepada kemaslahatan hamba/manusia baik didunia maupun diakhirat, semua itu menunjukkan rahmat allah yang begitu luas yang dia limpahkan kepada makhluknya.
Dan Mahmud syaltut mengartikan syari’ah sebagai “aturan - aturan yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan  dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau non  muslim, alam dan seluruh kehidupan. Syariah dan akidah merupakan satu sistim yang tidak dapat dipisahkan. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk menjalankan syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang berakidah. Tujuan manusia melaksanakan perintah-perintah syariah bukan sebatas melaksanakan kewajiban Tuhan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana manusia bisa membersihkan dirinya dengan selalu mengarahkan hidupnya dalam konteks ibadah dan mencari ridla Allah Swt.


[1] Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008 (Palembang: Tunas Gemilang Press)
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1958 (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby) hlm. 364
[3] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, 1965 (Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif) hlm. 381., Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-Fiqh, 1990 (Kairo: Matba’ah al-Da’wah al-Islamiyah) hlm. 197
[4]  Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II, t.t, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi) hlm. 268
[5]  Ibid., hlm. 5
[6] Zaky al-Din Sya’ban, Loc,Cit
[7] Zaky al-Din Sya’ban, op.cit, hlm. 381
[8] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, 1996 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) hlm. 65
[9] Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al-Tasri’ al-Islami Fima La Nashsha Fih, 1972 (Kuwet: Dar al-Qalam) hlm. 85-86
[10] Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hlm. 236

[11] Asafri Jaya Bakri, op.cit., h. 63.
[12] Jasser Auda, Maqsid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach,2007 (the international institute of islamic thought, london, washington)
[13] Jasser Auda, op.cit.
[14] Galuh Nasrullah, Al Iqtishodiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, hlm.56
[15] Galuh Nasrullah, Op.Cit.