BAB I
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH ABDUL KARIM ZAIDAN
A.
Makna
Syariah
Syariah secara
bahasa adalah madzhab dan jalan yang lurus. Syariah seperti sumber air atau air
yang mengalir yang di peruntuk untuk minum, dan syariah menjelaskan dan
menerangkan masalah masalah, dan syariah itu menjelaskan syariat atau sunnah -
sunnah. Secara istilah syariat adalah suatu aturan dalam agama untuk beribadah
kepada Allah SWT. dari hukum yang berbeda beda. Da ini dinamakan hukum – hukum
syariah baik yg membangun dan yang menyerupainya dengan maksud seperti air
karna dengan iar tersebut jiwa dan akalnya hidup. Syariat dan agama memiliki
satu makna yaitu aturan aturan dan hukum
– hukm untuk beribadah kepada Allah. Akan tetapi hukum hukum ini dinamakan
syariah.
Pengertian
Syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT yang ditujukan untuk
hamba-Nya, baik melalui Alquran ataupun dengan Sunnah Nabi Saw yang berupa
perkataan, perbuatan dan pengakuan. Seperti dalam firman Allah SWT
اليوم
اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا
B. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara
etimologis (Lugawi) maqashid al-syari’ah terdiri dua unsur kata, yaitu maqashid
((مقاصد dan al-syari’ah. Kata “مقاصد" adalah jamak dari kata “مقصد", yang berarti tujuan atau maksud.
Sedangkan kata al-syari’ah (الشريعة)
berakar dari kata kerja Syara’a (شرع)
yang berarti undang-undang, aturan dan syari’at. Dengan demikian, maqashid
al-syari’ah مقاصد الشريعة dapat diartikan
dengan tujuan atau maksud penetapan hukum syara’.[1]
Dikalangan
ulama ushul terdapat perbedaan istilah antara satu dengan lainnya. Muhammad Abu
Zahrah,[2] misalnya, menyebutnya dengan Maqashid
al-Ahkam (مقاصد الاحكام ). Sementara itu Zaky
al-Din Sya’ban dan Abdul Wahab Khalaf mengistilahkan dengan Maqashid
al-tasyri’ (مقاصد التشريع ).[3] Sedangkan maqashid al-syari’ah merupakan
istilah yang digunakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syatibi dan Abdul Karim Zaidan.
Sekalipun terdapat perbedaan istilah dikalangan ulama ushul, tetapi mengandung
pengertian sama.[4]
Adapun
secara terminologis (istilah), sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq
al-Syatibi, bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah ialah
ketentuan-ketentuan hukum yang disyari’atkan Allah untuk kemaslahatan manusia.;[5]
( ان الا حكام شرعت لمصالح لعباد)
Sementara itu, Zaky
al-Din Sya’ban menyebutkan pengertian maqashid assyari’ah sebagai
berikut:[6]
ومن المتفق عليه بين
جمهور العلماءان الله سبحانه لم يشرع حكامه الا لمقاصد عامة وان هذه المقاصد ترجع
الى جلب المنافع للناس ودفع المفاسد عنهم واخلاء العالم من الشرورو الاثام.
“Sebagian besar jumhur
ulama telah sepakat bahwa Allah SWT. tidak mensyari’atkan hukum-hukum-Nya
kecuali untuk tujuan yang sifatnya menyeluruh dan tujuan tersebut adalah untuk
mewujudkan dan meraih manfaat (kemaslahatan) bagi manusia dan sekaligus
menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia dari kejahatan dan
dosa.”
Dalam hubungan ini, Abdul Karim Zaidan juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid
al-syari’ah itu ialah menyangkut upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia serta mempertahankan eksistensi kemaslahatan tersebut. Imam Abu Ishaq
al-Syatibi menyebutkan bahwa tujuan Allah mensyariatkan hukum ialah untuk
kemaslahatan umat manusia, baik didunia ini maupun diakhirat nanti.
Kemaslahatan disini ialah menyangkut kemaslahatan yang dihajatkan oleh manusia
dalam segala aspek kehidupan mereka.
Sejalan dengan pandangan al-Syatibi diatas, Zaky
al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa Allah tidaklah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya
kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan menghindarkan
mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini dari maksiat dan perbuatan
dosa.[7] Maka untuk memahami maqashid
al-syari’ah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits Rasulullah
bukanlah pekerjaan yang mudah. Para ulama ushul, baik pada masa lalu maupun
sekarang telah berupaya untuk menyelami maqashid al-syari’ah ini lewat
ijtihad dan istinbat hukum. Hal ini semua tidak lain agar apa yang menjadi
tujuan pensyari’atan dapat direalisir dalam kehidupan umat.
Atas dasar ini, maka dapat dipahami bahwa maqashid
al-syari’ah – yang bermuara pada kemaslahatan adalah merupakan capaian
akhir dari pensyari’atan hukum Islam. Dengan kata lain, seperti dikatakan oleh
Asafri Jaya Bakri, bahwa kandungan adalah maqashid al-syari’ah
kemaslahatan.[8] Selanjutnya, inti dari maqashid
al-syari’ah ialah maslahat yang harus diwujudkan disatu pihak dan
menghindarkan mafsadat dipihak lain. Secara etimologis, sebagaimana
dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa maslahat mengandung arti “ طلب الا صلاح “ yaitu mencari kebaikan. Sementara, mafsadat
mengandung arti kerusakan dan keburukan yang membawa kerugian bagi
kehidupan umat manusia. Mafsadat sering juga disebut dengan Mudarat.[9]
Secara terminologis, menurut Abdul Karim Zaidan Maslahat
ialah manfaat dan menolak kerusakan atau kemudaratan.
المصلحة هي جلب المنفعة
ود فع المضرة اي المفسدة.
Atas dasar ini, maka
esensi maslahat dan mafsadat dapat dilihat dari dua sisi. Abdul
Karim Zaidan menjelaskan bahwa dilihat dari sisi kemestian adanya maslahat ( ايجابي ) maka ia disebut “ ايجاد المنفعة “ yaitu keharusan terwujudnya manfaat yang
mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Bila dilihat dari sisi peniadaan
kerusakan ( سلبي), maka ia disebut
dengan istilah “ دفع المفسدة “
yaitu menghilangkan dan menghindarkan kerusakan yang menimbulkan kerugian bagi
kehidupan umat manusia.[10]
Dari sini dapat
dipahami bahwa konsep maslahat dan mafsadat dalam hubungannya dengan maqashid
al-syari’ah merupakan suatu cara dalam melihat nilai-nilai maslahat yang
harus diperjuangkan dan dipertahankan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
manusia baik didunia maupun di akhirat.
BAB II
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH MAHMUD SYALTUT
Mahmud Syaltut,
syari’ah diartikan sebagai “aturan - aturan yang diciptakan oleh Allah untuk
dipedomani manusia dalam mengatur hubungan
dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama muslim atau non muslim, alam dan seluruh kehidupan.”[11]
Urgensi syariah dalam kehidupan manusia adalah dalam rangka terciptanya
kemaslahatan manusia dalam menata kehidupannya dan meminimalisir apa yang
mungkin menjadi mudlaratnya. Dalam skala global syariah diarahkan pada jalb al
mashalih dan dar’ al mafasid. Dan dalam pengertiannya yang lebih luas syariah
mencakup seluruh kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan
duniawi sehari-hari, jika kegiatan ini dilakukan dengan sikap batin serta niat
pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.
Menurut
Syaltut, syariah dan akidah merupakan satu sistim yang tidak dapat dipisahkan.
Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk menjalankan syariah Tuhan,
dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang berakidah. Karena itu
menurut Syaltut manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan, ataupun
manusia yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak
dianggap seorang Muslim, dan juga tidak dihukumi Islam.
Syaltut juga
menilai bahwa tujuan manusia melaksanakan perintah-perintah syariah bukan
sebatas melaksanakan kewajiban Tuhan, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana manusia bisa membersihkan dirinya dengan selalu mengarahkan hidupnya
dalam konteks ibadah dan mencari ridla Allah Swt.
Dalam masalah
ibadah menurut Syaltut, ibadah yang kita laksanakan bukanlah hanya menyangkut
aspek ritualitas saja ataupun formalitas kewajiban, tetapi memiliki kandungan
nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta menyentuh aspek tarbiyah ruhaniyah
diri manusia, dan juga bahkan menyentuh aspek-aspek sosial keidupan manusia.
Dan semua itu diarahkan juga dalam membentuk integritas diri manusia sebagai
makhluk yang bermoral.
Dalam masalah
shalat misalnya, Syaltut berusaha mencari nilai- nilai yang terkandung di
dalamnya. shalat merupakan bentuk rutinitas hubungan yang berkesinam bungan
dari manusia kepada Tuhannya, yang akan memben tuk integritas kepribadian
muslim sejati yang akan membias dalam aspek-aspek prilaku kehidupannya. Karena
itu, de ngan shalat keimanan seseorang akan dapat diukur. Shalat juga menurut
Syaltut bentuk Rihlah Ilahiyah manusia dalam rangka penghambaan kepadanya dan
mencari ridlaNya. Ibadah shalat juga bukanlah merupakan ibadah syhaksiyah murni
antara manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengan dung nilai-nilai sosial
kemanusian manusia kepada yang lainnya. Karena itu, disyariatkan kepada kita
shalat jum’at dan shalat jamaah. Dan walaupun shalat dianggap ibadah yang
paling berat, namun menurutnya kalau manusia mam pu memahaminya secara
proporsianal serta dapat menem patkan pada tempatnya, mana yang azimah dan mana
yang rukhsoh, niscaya tidak ada kata berat dalam melaksanakan ibadah shalat
tersebut.
Zakat, puasa,
dan haji menurut Syaltut merupakan ibadah yang banyak menyentuh nilai-nilai
kemanusiaan yang menyangkut refleksi sosial manusia sebagai makhluk Tuhan.
Ibadah-ibadah ini punya fungsi dan peran yang besar dalam membentuk tatanan
kehidupam masyarakat yang kontsruktif dan dalam membentuk sistim kehidupan
masya rakat yang ideal dalam rangka menuju keadilan dan kemak muran masyarakat.
Kewajiban yang
dibebankan manusia untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariahkan kepadanya
kalau dilaksanakan berangkat dari semangat kemanusiaan dan semangat ketaatan
dan pengabdian kepada sang Khaliq, maka manusia akan mampu menemukan
nilai-nilai kebenaran dan identitas kemanusiannya sesuai yang diridlai Tuhan.
BAB
III
MAKNA
DAN KONSEP SYARIAH JASEER AUDA
Shariah is
based on wisdom and achieving people’s welfare in this life and the afterlife.
Shari¢ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that
replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with
mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does not belong to the
Shari¢ah, even if it is claimed to be so according to some interpretation.[12]
Dalam Maqasid
al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser Auda mengartikan
Maqasid pada empat arti : Pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua,
tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh hukum. Ketiga, kelompok
tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat,
Mashalih. Dalam konsep Maqasid yang
ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling
utama.[13]
Jasser Auda
berusaha mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and
preservation menuju pada teori maqashid yang mengacu pada development and
rights. Teori maqashid yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan, terutama
pada abad ke-20. Teori modern mengkritik klasifikasi kebutuhan (necessity) di atas dengan beberapa alasan berikut ini:
a). Scope teori maqashid meliputi seluruh hukum Islam; b). Lebih bersifat
individual; c).Tidak memasukkan nilai-nilai yang paling universal dan pokok,
seperti keadilan dan kebebasan (freedom); d). Dideduksi dari kajian literature
fiqhi, bukan mengacu pada sumber original/script.[14]
Berikut ini gambaran teori maqashid kontemporer dari 3 dimensi
baru:[15]
1.
Tingkatan
Maqāṣid al-Syarīah
Para ulama’ kontemporer membagi maqāṣid
kepada tiga tingkatan, yaitu maqāṣid ‘āmah (General maqāṣid / tujuan - tujuan
umum), maqāṣid khāṣṣah (Specific maqāṣid / tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid
juz`iyah (Partial maqāṣid / tujuan - tujuan parsial). Maqāṣid ‘āmah adalah
nilai dan makna umum yang ada pada semua kondisi tasyri’ atau di sebagian
besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan. Maqāṣid khaṣṣah
adalah maslahat dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam
syariah, seperti tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan dalam
system keluarga, menakut - nakuti masyarakat dan efek jera dalam memberikan
hukuman, menghilangkan gharar (ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya.
Sedang maqāṣid juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin direalisasikan dalam
pentasyri’an hukum tertentu, seperti tujuan kejujuran dan hafalan dalam
ketentuan persaksian lebih dari satu orang, menghilangkan kesulitan pada hukum
bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang tidak sanggup berpuasa karena sakit,
bepergian atau lainnya.
2.
Maqāṣid
al-Syarī’ah dan ‘Illat
Al-‘illat dalam kajian usul fiqh
adalah “sifat yang dijadikan oleh al-Syāri’ (Pembuat syariah) sebagai manāṭ
(kaitan, patokan) bagi penetapan hukum berdasarkan persangkaan sebagai sarana
merealisasikan tujuan Syariah dalam penetapan hukum”. Atau “sifat yang tampak (ẓāhir)
dan terukur (munḍabit) yang karenanya hukum ditetapkan”. Berdasarkan definisi di atas, para ahli ushul
fiqh meletakkan beberapa syarat bagi ‘illat, secara umum ada empat syarat,
yaitu sifat tersebut harus tampak (ẓāhir), terukur (munḍabit), bisa diberlakukan
kepada realitas atau hal yang lain, tidak berlaku khusus (muta’addiy), dan
mu’tabarah dalam arti tidak ada teks
yang menunjukkan bahwa sifat tersebut tidak dipakai. Mayoritas ahli ushul fiqh berpedoman pada
ta’līl al-ahkām, khususnya dalam bidang muamalah. Dalam hal ini para ulama
membedakan antara ranah ibadah dan ranah muamalah. Dalam ranah ibadah, hukum
asalnya adalah ta’abbud dan berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan
kebiasaan hukum asalnya adalah melihat kepada makna dan maqasid, sebagaimana
kaidah:
الأصل في
العبادات التعبد دون الإلتفات إلى المعانى والمقاصد, وفي المعاملات الإلتفات إلى
المعانى والأسرار والمقاصد
Berkenaan
dengan ini mereka membuat kaidah:
الحكم
يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya, hukum
berputar bersama ‘illat-nya, berlaku pada saat ada ‘illat-nya dan tidak berlaku
pada saat hilang ‘illat-nya. Hanya sebagian kecil diantara ulama yang tidak
berpedoman pada ta’līl alahkām, yaitu Dawud dan Ibn Hazm al-Dhahiri beserta
pengikut mereka yang dikenal dengan madzhab Dhahiri. Mereka menolak untuk
mengaitkan hukum dan teks-teks syariah dengan ‘illat serta mengajak untuk
mengamalkan teks semata tanpa mencari ‘illat hukum, sehingga hukumnya tidak
bisa diberlakukan pada selain obyek dari teks tersebut. Dengan demikian mereka
adalah kelompok yang menolak qiyas sebagai salah satu sumber hukum. Kelompok
yang berdekatan dengan mereka adalah ulama’ yang mengakui ta’līl al-ahkām,
namun mempersempit ruangnya hanya pada illat yang disebutkan pada teks, dan
tidak memberlakukan ‘illat yang berdasar pada akal dan logika, sehingga mereka
tidak lepas dari teks dan tidak melakukan qiyas kecuali yang illatnya
ditetapkan dalam teks.
Konsep ta’līl
al-ahkām merupakan dasar dari konsep maqāṣid al-Syarī’ah sebagai filosofi
penetapan hukum. Karena itu Madzhab al-Dhahiri menolak penggunaan maqāṣid
al-Syarī’ah dalam penentuan hukum,
sebagaimana sebagian ulama’ mengakui maqāṣid al-Syarī’ah, namun membatasinya
pada apa yang ada pada teks dan tidak membolehkan penggunaannya pada selain
obyek teks tersebut. Sedang mayoritas ahli usul fiqh menekankan pentingnya
penggunaan maqāṣid al-Syarī’ah sebagi instrumen penetapan hukum berdasarkan
pengakuan mereka pada ta’līl alahkām. Bahkan Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa
ta’līl al-ahkām dan mengaitkannya dengan hikmah dan kemaslahatan telah menjadi
kesepakatan (ijma’) ulama’ kecuali
sebagian kecil saja. Menjadikan maqāṣid al-syarī’ah sebagai ‘illat sebagaimana
di atas, menurut Jasser Auda kurang tepat. Hal ini karena maqāṣid al-syarī’ah
dan hikmah berbeda dengan ‘illat sebagaimana didefinisikan oleh ulama’.
Walaupun ‘illat merupakan representasi dari maqasid dan hikmah, namun secara
spesifik, ulama’ klasik mensyaratkan ‘illat dengan empat syarat sebagaimana di
atas, dan syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi pada maqāṣid dan hikmat
al-syarī’ah. Karena itu Auda menekankan pentingnya penggunaan maqāṣid
al-syarī’ah sebagai manaṭ hukum sebagaimana ‘illat. Dia mengusulkan alternatif
kaidah baru sebagai pengganti kaidah lama, yaitu:
تدور الأحكام الشرعية العملية مع مقاصدها وجودا وعدما كما تدور مع
علتها وجودا و عدما
Hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah bersama maqāṣhid
(tujuan-tujuannya) sebagaimana ia bersama illat-nya, ada atau tidak ada.
Jasser Auda
menggagas maqāṣid al-syarīah dengan
pendekatan system sebagai pisau analisis dalam kajian hukum Islam. Menurut
Auda, penggunaan maqāṣid al-syarī’ah dengan pendekatan system ini harus
memperhatikan semua komponen yang ada dalam system hukum Islam, yaitu cognitive
nature (pemahaman dasar), wholeness (Keseluruhan), openness (keterbukaan),
interrelated hierarchy (hirarki yang saling terkait), multi-dimensionality
(multi dimensionalitas) dan purposefulness (orientasi tujuan) hukum Islam.
3.
Maslahat
dan Pengembangannya
Menurut
al-Syatibi, kemaslahatan manusia akan dapat terealisasi jika kelima unsur pokok
kehidupan manusia dapat terealisasi dan dipelihara yakni agama atau keyakinan,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
al-Syatibi membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan
peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat,28 dari hasil penelaahannya
secara lebih mendalam al-Syatibi menyimpulkan29 bahwa keterkaitan antara
tingkatan-tingkatan almaqasid dapat diuraikan sebagai berikut: (1) maqashid
daruriyat merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat. (2)
kerusakan pada maqasid daruriyat akan membawa kerusakan pula pada maqasid
hajiyat dan maqasid tahsiniyat. (3) sebaliknya, kerusakan pada maqasid hajiyat
dan maqasid tahsiniyat tidak dapat merusak maqasid daruriyat. (4) kerusakan
pada maqasid hajiyat dan maqasid
tahsiniyat yang bersifat absolut
terkadang dapat merusak maqasid daruriyat. (5) pemeliharaan maqasid hajiyat dan
maqasid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid daruriyat secara tepat.
Dengan demikian, jika kita perhatikan, maka ketiga tingkatan al-maqasid
tersebut tidak dapat kita pisahkan satu dengan yang lain. Tingkat hajiyat
merupakan penyempurnaan tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan
bagi tingkat hajiyat, sedangkan daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Keterkaitan antar ketiga kemaslahatan tersebut merupakan ruh yang terdapat
dalam Islam, dan saling menyempurnakan. Penekanan utama dalam kemaslahatan
tersebut adalah kemaslahatan primer (daruriyat), karena menjadi kebutuhan
mendasar bagi setiap manusia untuk meneguhkan dimensi kemanusiaannya. Jika
nilai-nilai tersebut dilanggar, maka dapat dipastikan bahwa hak dan identitas
kemanusiaan akan berkurang, karena sejatinya, nilai-nilai tersebut harus
menjadi pijakan politik, ekonomi dan keberagamaan, sehingga pandangan politik,
ekonomi dan keberagamaan tidak berseberangan dengan isu-isu kemanusiaan,
seperti kebebasan beragama, berpendapat dan berekspresi, hak reproduksi, hak
hidup, hak atas kepemilikan harta benda dan lainnya. Sebagaimana diketahui
bahwa al-masalih menurut pandangan ahli ushul mencakup ibadah, muamalah, dan
adat dalam tiga tingkatan, yaitu,
al-masalih addharuriyah merupakan tingkatan pertama, al-masalih al-hajiyah
berada pada tingkatan kedua, dan terakhir al-masalih at-tahsiniyah sebagai
pelengkap. Kegelisahan akan terjadi manakala kita mencermati karakteristik
unsur-unsur pada tingkatan ad-dharuri
dan at-tahsini. Al-Dharuriyah terdiri dari lima unsur seperti disebutkan di
atas. Perumpunan unsur-unsur tersebut dalam bingkai ad-dharuri memunculkan
pertanyaan yaitu apakah al-dharuri hanya terbatas pada lima unsur saja? dan
mengapa lima unsur itu dikhususkan pada masalih ad-dharuriyah? Adalah tidak
mungkin mengidentifikasi aldharuri hanya terbatas pada lima unsur semata, di
samping tidak memenuhi syaratsyarat logika, juga tidak menggunakan metodologi
yang cermat, di samping itu juga terkesan kurang detail karena masih terbuka
pintu masuk bagi unsur-unsur lain ke dalamnya. Sehingga tidaklah mengherankan
jika sebagian ahli ushul memasukkan al'ardh (harga diri) dan al-'adl
(keadilan). Lagi pula antara satu unsur dengan unsur yang lain masih sulit
dibedakan. Misalnya, melindungi jiwa dan melindungi akal tidak dapat dipisahkan
sehingga satu dengan yang lain tidak ada yang menjadi prioritas. Spesifikasi
dari lima unsur tersebut juga tidak jelas terutama antara unsur-unsur tersebut
dengan sumbernya. Misalnya ad-din menjadi salah satu unsur ad-dharuri, namun
kalau dicermati istilah ad-din identik dengan istilah syariah.
Melihat
pertimbangan ini, maka al-ushul al-khamsah (lima jenis dharuriyat) harus
diposisikan pada tingkatan al-qiyam al-akhlaqiyah al-'ulya (nilai-nilai moral
yang tertinggi). Sepertinya inspirasi sebagian kaum ushuli terutama Syatibi
dengan as-sabgah al-akhlaqiyah (karakter etika) terhadap al-ma'ani al-khamsah,
menggiring mereka untuk berpendapat bahwa semua agama sepakat untuk melindungi
lima unsur dalam addharuriyat dengan klaim bahwa kelima makna tersebut bersifat
abadi dan diakui oleh fitrah manusia yang sehat. Jenis-jenis al-masalih sesungguhnya, tidak
mungkin terbatas pada lima unsur, dan tidak mungkin pula terpisah dengan
nilai-nilai moral (al-qiyam al-akhlaqiyah), di samping itu makarim al-akhlaq
pun masuk ke semua tingkatan al-masalih mengharuskan konstruksi baru dalam
pengklasifikasian al-masalih. Klasifikasi almasalih32 yang relevan dengan
situasi dan kondisi sosial masyarakat saat ini harus memenuhi kriterium sebagai
berikut; (1) qiyam al-naf’i wa ad-dharar (nilai-nilai manfaat dan madarat).
Nilai-nilai (al-qiyam) yang masuk dalam kriteria ini adalah kemaslahatan yang
berhubungan dengan jiwa, kesehatan, keturunan, dan harta. (2) qiyam al-husn wa
al-qubh (nilai-nilai baik dan buruk) atau dapat disebut al-masalih al‘aqliyah.
Artinya bahwa al-ma'ani al-akhlaqiyah dapat menegakkan berbagai kebajikan dan
keburukan (al-mahasin wa al-maqabih) yang mencakup seluruh konstruksi kejiwaan
dan intelektual. Kemaslahatan yang masuk dalam al-ma'ani ini tidak terbatas,
antara lain rasa aman dan merdeka,
pekerjaan, keselamatan, kebudayaan, dan dialog. (3) qiyam as-salah wa al-fasad
(kerbaikan dan kerusakan) atau di sebut al-masalih arruhiyah. Artinya al-ma'ani
al-akhlaqiyah yang dapat menegakkan semua al-masalih dan al-mafasid dan
mencakup seluruh potensi spritual dan moral. Termasuk dalam bagian ini adalah
agama dari aspek spritual keagamaan, semisal al-ihsan, ar-rahmah, al-mahabbah,
khusyu', dan tawadu'.
BAB IV
MAKNA DAN KONSEP SYARIAH YUSUF AL QORDHOWI
Syaikh
Al-Qardhawi mengatakan, syariah menurut pandangan islam sangatlah luas dan
komprehensif (al-syumul). Di dalamnya
mengandung makna mengatur
seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek ibadah (hubungan
manusia dengan Tuhan nya), aspek keluarga (seperti nikah, talak, nafkah,
wasiat, warisan), aspek bisnis (perdagangan, industri, perbankan, asuransi, utang-piutang,
pemasaran, hibah), aspek ekonomi (permodalan,
zakat, bait al-mal,
fa’I, ghanimah), aspek hukum
peradilan, aspek undang-undang hingga hubungan antar negara.
Maqashid
al-syari’ah secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan
syari’ah.Maqashid, adalah bentuk jamak dari maqsủd, yang berarti “kesengajaan
atau tujuan.”Syari’ah, secara bahasa berarti “jalan menuju air.”
Secara
terminologis, Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam dan menetapkan syari’at, karena segala sesuatu hal
yang disyari’atkan allah didalam syari’at pasti mengandung tujuan dan maksud
yang akan kembali kepada kemaslahatan hamba/manusia baik didunia maupun
diakhirat, semua itu menunjukkan rahmat allah yang begitu luas yang dia
limpahkan kepada makhluknya.
Menurut
Qardhawi kata syari’at itu adalah diartikan dengan agama secara utuh yang
mencakup segala aspek, baik itu ibadat, hukum muamalat dan juga aqidah, kalimat
syari’ah merupakan asal kata dari شرع
yang bermakna “menjelaskan” atau berasal kata dari “ الشرعة"”
(syir’ah ) yang bermakna secara bahasa berarti “jalan menuju air” Qardhawi
menegaskan bahwa kalimat “شرع” baik dalam bentuk
isim dan bentuk fi’il yang terdapat didalam al-qur’an hanya ada lima kali
disebutkan, dan terbukti bahwa kalimat “الشريعة”
hanya terdapat dalam surat al-Jatsiyah : 18, dan surat ini adalah surat
makkiyah yang mana surat ini diturunkan sebelum adanya hokum, dari sini kita
mengetahui bahwa kalimat syari’ah adalah kalimat yang mengandung makna “agama”
secara keseluruhan baik itu aqidah, muamalah, ibadat dan lainnya.
Qardhawi juga
mengatakan bahwa “ sungguh sangat keliru para دعاة
العلمانيين"” (aktivis liberal) bahwa kalimat syari’ahitu hanya
bermakna “hokum saja” tidak termasuk didalamnya ranah “Aqidah”, padahal kalimat
“Aqidah” juga tidak ada ditemukan dalam al-qur’an, jadi mengapa dipisahkan
antara aqidah dengan syari’ah? Dan sesuatu yang sudah menjadi hal yang qath’I
bahwasanya al-qur’an itu mencakup segala aspek: aqidah, muamalat, hokum, akhalq
dll. Namun hari ini pelafalan syari’ah aitu diartikan dengan 2 makna yaitu:
agama secara umum dan fiqih secara khusus, namun yusuf qardhawi lebih dominan
yang dimaksud dengan syari’ah itu adalah segala bentuk yang terkait dengan
agama, adapun pengkhususan para ahli ushul fiqih dengan “ الكليات الخمس” dengan maqashid syari’ah itu adalah tidak
menafikan akan pencakupannya terhadap aqidah.
Jadi,menurut
Yusuf Qardhawi yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah adalah makna-makna dan
tujuan-tujuan umum yang diinginkan oleh nash-nash syar’i , baik berupa
perintah, larangan dan mubah. Atau bisa juga diartikan bahwa Maqashid
al-Syari’ah itu adalah hikmahdisyari’atkannyasuatu hokum, dan bukan Illat
hokum, karena Illat hokum itu adalah sebab adanya hukum dan bukan tujuan hukum,
sebgai contoh “ illat hokum boleh mengqashar Shalat adalah Safar namun
hikmahnya adalah Masyaqqoh (adanya kesusahan dalam safar).
BAB
V
KESIMPULAN
Syariah adalah sebuah aturan aturan atau hukum hukum yang mengatur
peribadahan kepada Allah.
Menurut Abdul
Karim Zaidan Syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT yang
ditujukan untuk hamba-Nya, baik melalui Alquran ataupun dengan Sunnah Nabi Saw
yang berupa perkataan, perbuatan dan pengakuan. Seperti dalam firman Allah SWT
اليوم
اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا
Menurut Jasser
Auda dalam bukunya Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach,
Shariah is based on wisdom and achieving people’s welfare in this life and the
afterlife. Shari¢ah is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any
ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common
good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does not belong
to the Shari¢ah, even if it is claimed to be so according to some
interpretation.
Sedangkan
menurut Yusuf Al Qodhawi Maqosid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya
dalam merumuskan hukum-hukum Islam dan menetapkan syari’at, karena segala
sesuatu hal yang disyari’atkan allah didalam syari’at pasti mengandung tujuan
dan maksud yang akan kembali kepada kemaslahatan hamba/manusia baik didunia
maupun diakhirat, semua itu menunjukkan rahmat allah yang begitu luas yang dia
limpahkan kepada makhluknya.
Dan
Mahmud syaltut mengartikan syari’ah sebagai “aturan - aturan yang diciptakan
oleh Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan manusia baik sesama
muslim atau non muslim, alam dan seluruh
kehidupan. Syariah dan akidah merupakan satu sistim yang tidak dapat
dipisahkan. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk menjalankan
syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang
berakidah. Tujuan manusia melaksanakan perintah-perintah syariah bukan sebatas
melaksanakan kewajiban Tuhan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
manusia bisa membersihkan dirinya dengan selalu mengarahkan hidupnya dalam
konteks ibadah dan mencari ridla Allah Swt.
[1] Romli
SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008 (Palembang: Tunas
Gemilang Press)
[3] Zaky al-Din Sya’ban, Ushul
al-Fiqh al-Islami, 1965 (Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif) hlm. 381., Abdul
Wahab Khalaf, Ilmu Al-Fiqh, 1990 (Kairo: Matba’ah al-Da’wah
al-Islamiyah) hlm. 197
[4] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul
al-Syari’ah, Jilid II, t.t, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi) hlm. 268
[5] Ibid., hlm. 5
[6] Zaky al-Din Sya’ban, Loc,Cit
[7] Zaky al-Din Sya’ban, op.cit,
hlm. 381
[8] Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, 1996 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada) hlm. 65
[9] Abdul Wahab Khalaf, Mashadir
al-Tasri’ al-Islami Fima La Nashsha Fih, 1972 (Kuwet: Dar al-Qalam) hlm. 85-86
[11] Asafri
Jaya Bakri, op.cit., h. 63.
[12] Jasser
Auda, Maqsid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach,2007 (the
international institute of islamic thought, london, washington)
[13] Jasser
Auda, op.cit.
[14] Galuh
Nasrullah, Al Iqtishodiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah,
hlm.56
[15] Galuh
Nasrullah, Op.Cit.