Jumat, 24 November 2017

Makalah Pendidikan Filsafat "ALAM DAN TUHAN"



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, al – Qur’an semakin  membuktikan sebagai kitab yang benar – benar merupakan firman Allah SWT. Tuhan yang menciptakan alam semesta.[1] Al – Qur’an memakai istilah “al –alamin” yaitu seluruh alam, ketika merujuk kepada Tuhan, sebagai Tuhan seluruh alam (Robb al – Alamin). Alam memiliki fungsi – fungsi diantaranya yaitu alam sebagai ciptaan; alam sebagai tanda; alam sebagai manifestasi.
Alam digambarkan oleh Ibn Sina sebagai “wujud yang mungkin” atau “wujud potensial”. Sebagai wujud potensial alam sangat membutuhkan wujus lain yang sudah aktual, yaitu Tuhan, sebagai “Wajib al – Wujud”. Tuhan dengan prinsip aktualitasnya  mampu mewudkan alam. Disini terlihat hubungan yang lebh dekat antara alam dan Tuhan.
Alam merupakan tanda – tanda kebesaran Allah. Tuhan sengaja memamerkan alam kepada manusia, sebagai tanda – tandanya dan itu bukan hanya yang ada pada alam tetapi juga yang ada pada diri manusia itu sendiri. Dalam al – Qur’an mengatakan “Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda – tanda kami yang ada di jagat raya (afaq) dan yang ada ada diri mereka, agar mereka tahu bahwasanya ia (al – Qur’an) adalah benar – benar dari Tuhan mereka” (Q.S 41:53).
Alam sebagai manifestasi Tuhan menunjukkan bahwa alam adalah tempat bermanifestasi. Manifestasi adalah perwujudan dari sesuatu yang tidak terlihat.[2]



B.     Rumusan Masalah
Agar makalah ini terarah, maka penulis membatasi dengan rumusan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud Alam sebagai Ciptaan ?
2.      Apa yang dimaksud Alam sebagai Tanda ?
3.      Apa yang dimaksud Alam sebagai manifestasi (Tajalliyat) ?

C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui Alam Sebagai Ciptaan
2.      Untuk mengetahui Alam Sebagai Tanda
3.      Untuk mengetahui Alam Sebagai Manifestasi (tajalliyat)



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Alam Sebagai Ciptaan
Dalam islam, alam, betapapun besarnya dan kuatnya, tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang independen dalam arti berdiri sendiri, dalam arti menciptakan dirinya sendiri (self-cretaing), mengatur dirinya sendiri (self-regulating), atau beroperasi sendiri  (self-operating), melainkan sesuatu yang selalu terhubung dengan  seuah Realitas yang lebih tinggi , yang kita sebut Tuhan. Apapun teori penciptaan yang dikembangkan , yang pasti alam selalu terhubung dengan yang kita sebut Tuhan.[3] Seluruh perbuatan Tuhan dapat diringkaskan di bawah judul penciptaan dan pengelolaan, karena pengelolaan tidak dapat dipisahkan dari penciptaan.[4]
Pola hubungan alam dengan Tuhan yang paling ekstrim adalah konsep pantheisme[5], yang memandang Tuhan adalah sama dan satu. Salah  seorang filsuf yang mendukung pola ini adalah Baruch Spinoza (w.1677), pemikir Belanda asal Portugis. Meskipun ia menamakan alam dan Tuhan, tetapi ia tetap membedakan antara unsur yang pasif dari alam yang disebut “Natura naturata”, dan unsur yang aktif darinya, yang disebut “Natura naturans”. Jadi meskipun alam dan Tuhan dipandang satu dan tak terpisah, tapi tetap tampak bahwa Tuhan adalah aspek aktif yang memengaruhi kerja dan operasi alam, sehingga disebut Natura Naturans (aspek alam yang menciptakan), sedangkan alam merupakan aspek pasif yang disebut Natura Naturata (aspek alam yang diciptakan). Dengan demikian, sekalipun alam dan Tuhan dipandang sama , keduanya dibedakan dari dua aspek:”activity” (al-fi’l) dan “passivity” (al-infi’al), atau aspek keaktifannya dan kepasifannya.
Para pemikir monoteisme pada umumnya menggambarkan Tuhan, karena sifat Transenden-Nya, sebagai sesuatu yang jauh dari alam. Dia adalah pencipta langit dan bumi yang mengatur dari singgasana-Nya yang agung (‘Arsy), segala urusan alam semesta dari langit hingga ke pusat bumi, Allah Swt. Berfirman :
يدبر الأمر من السماء إلى الأرض ثم يعرج إليه في يوم كان مقداره ألف سنة مما تعدون
Artinya : “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.”
Pola hubungan jarak jauh ini, misalnya, ditunjukkan oleh aristoteles, al Kindi, maupun al-Farabi (w.950) sebagai sebab utama dengan apapun yang ada dan terjadi di alam ini. Melalui rangkaian sebab yang panjang. Atau sebagai hubungan antara “Penggerak Pertama” dan apapun yang ada dan bergerak di alam, melalui rangkaian panjang penggerak-penggerak yang megantarai peristiwa alam dan Tuhan. Meskipun begitu, disini kita masih dapat melihat keterhubungan alam dan ketergantungannya pada Tuhan.
Konsep pola hubungan antara alam dan Tuhan menurut para tokoh, yaitu :
1.      Ibn Sina
Alam digambarkan sebagai “wujud yang mungkin” atau “wujud potensial”, sebagai wujud potensial, alam sangat membutuhkan “Wujud lain yang sudah aktual” yaitu Tuhan, “sebagai “Wajib al-Wujud”. Tuhan, dengan prinsip aktualitasnnya, mampu mewujudkan alam dengan cara memindahkan “potensialitas” alam ke dalam aktualitas. Wujud sesuatu boleh jadi niscaya (wajib/musti) dan boleh jadi mungkin. Wujud yang niscaya adalah sedemikian rupa sehingga jika sesuatu yang termasuk di dalamnya diandaikan tidak ada, kemustahilanlah yang muncul. Eksistensi ang mungkin adalah sedemikian rupa sehingga jika sesuatu yang termasuk di dalamnya diasumsikan tidak ada, tidak ada kemustahilan lain yang muncul.[6]
2.      Suhrawardi
Alam digambarkan sebagai gabungan dari cahaya dan kegelapan. Cahaya ada secara positif, sedangkan kegelapan tidak bisa dikatakan ada secara positif. Simbolisme cahaya dipakai untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis dan khususnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis. Simbolisme cahaya dinilai lebih dapat diterima untuk dapat membahas “kedekatan” dan “kejauhan” dari sumber sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika simbolisme cahaya digunakan semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu cahaya dari segala cahaya, semakin terang cahaya tersebut.[7] Keberadaan alam yang masih potensial, memerlukan cahaya untuk memunculkannya di alam kenyataan. Alam pada dirinya adalah seperti benda-benda yang ada dalam sebuah ruangan yang gelap gulita, apabila kita memasuki ruangan tersebut, kita tidak bisa menemukan apa-apa . namun, itu tidak berarti bahwa disana tidak ada suatu apapun. Kita memerlukan cahaya untuk melihat benda-benda yang ada didalamnya. Ketika kita menyalakan lampunya , bermunculahlah benda di dalam ruangan tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa alam, yang sudah berada pada potensi, baru akan muncul atau tercipta dalam bentuk nyata apabila cahaya Tuhan telah menyentuhnya. Cahaya adalah “substansi” yang terang pada dirinya, dan yang akan membuat terang. Jadi penciptaan disini harus kita pahami sebagai permunculan alam sebagai potensi ke dalam aktualitas melalui pencahayaan atau iluminasi. Suhawradi menyebut alam “al-faqir”, yang membutuhkan. Sedangkan Tuhan “al-Ghani”, yang serba kecukupan dan tidak memerlukan suatu apapun.
3.      Mulla Shadra
Mulla Shadra menggambarkan Tuhan sebagai Wujud Murni (al-Wujud al-Mahdh). Wujud murni disini  harus dipahami sebagai “Wujud atau Ada itu sendiri”, bukan “ada-ada yang lain “. Tuhan sebagai Wujud Murni mutlak diperlukan oleh alam, karena ia merupakan syarat utama bagi keberadaan alam. Sebagai syarat bagi segala yang ada maka Wujud Murni atau Tuhan, tidaklah berada jauh dari, tetapi justru berada dalam, jantung atau inti terdalam dari segala sesuatu yang ada yang kita sebut alam.
Pola hubungan yang lebih dekat antara Alam dan Tuhan dari kaum Teolog dan para sufi,yaitu:
a.       Mu’tazilah
         Memandang Tuhan sebagai jauh, Tuhan bukanlah agen yang langsung mengatur alam, tetapi dia mengaturnya melalui “sunnatullah” yang mereka samakan dengan hukum alam . bahkan mersandar pada ayat-ayat Al-Quran “tidak akan pernah ada perubahan pada sunnatullah”(QS.33:62;48:23), mereka berkata bahwa hukum alam ini sudah fixed dan tidak bisa dirubah oleh siapapun, termasuk oleh Tuhan.
b.      Asy’ariyah
          Bagi mereka Tuhan adalah agen utama yang mengendalikan alam  dan menjadi sebab langsung bagi apapun peristiwa yang ada di alam ini. Berdasarkan pada banyak ayat Al Quran, kaum Asy’ari mencoba menyingkirkan semua perantara yang biasa disebut “sebab-sebab sekunder” yang mengantarai Tuhan dengan alam.
      Keyakinan ini telah mereka perkuat dengan teori atom, yang menurut Majid Fakhr, mereka ambil dari sumber India. Menurut teori ini alam tediri dari atom-atom, tetapi atom-atom ini hanya bertahan satu dua saa. Maka untuk menjaga kelangsungannya, Tuhan harus menciptakan atom-atom baru setiap kali atom-atom lama musnah. Dengan demikianlah, terlihatlah betapa dekatnya Tuhan dengan alam dan betapa tergantungan keberadaannya pada Tuhan dan aktivitas-aktivitas-Nya.
      Para sufi dengan pendekatan intuitifnya, memandang Tuhan sangat dekat dengan manusia. Kedekatan alam, khususna manusia, dengan Tuhan juga tergambar dalam konsep-konsep tertentu daripada sufi, seperti ittihad (The Mystical Union) oleh Abu Yazid al-Busthami, dan konsep al-Hullul (Incarnation) oleh al-Hallaj.mereka menggambarkan kemungkinan terjadina kesatuan eksistensial antara hamba dan Tuhan, dan peleburannya ke dalam sebuah kesatuan, apakah dengan cara sang hamba mendekati Tuhan, seperti dalam kasus ittihad, atau Tuhan yang mendekati hamba-Nya seperti dalam kasus al-Hullul, selagi manusia hidup di dunia ini. Dalam kasus al-Busthami atau al-Hallaj, manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan masih digambarkan sebagai dua macam wujud yang dipersatukan, Ibn Arabi justru menghapuskan dualisme wujud tersebut, karena baginya, wujud yang sebenarnya hanyalah satu, Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan yang lain, yang kita sebut alam, hanyalah bayangan yang tidak bisa dikatakan wujud dalam arti sesungguhnya. Disini seakan Tuhan dan alam itu adalah satu dan sama, seperti pandangan pantheisme. Namun, karena para sufi, termasuk ibn ‘Arabi, masih mengakui sifat tanzih atau transendensi Allah di samping tasybih atau imanensinya, maka pengidentifikasian ajaran wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi dengan pantheisme adalah kurang tepat. Istilah yang lebih cocok adalah “panentheisme” yang diajukan oleh filsuf penyair modern, Sir Muhammad Iqbal,yang masih mengakui bukan hanya imanensi tetapi juga Trasendensi Tuhan.

B.     Alam Sebagai Tanda
            Berbeda  dengan pandangan ilmiah Barat yang seperti “difatwakan” Darwin (w.1882) melarang ilmuan untuk membawa-bawa Tuhan dalam penjelasan atau tulisan ilmiah, islam justru menganjurkan umatnya termasuk para ilmuannya, untuk selalu mengaitkan Tuhan dengan fenomena alam, karena alam tak lain dari pada tanda-tanda kebesaran Allah (ayat allah). Dengan demikian alam tidak boleh dibaca (dikaji ,diteliti) semata untuk dan pada dirinya saja sebagai entitas yang independen daari hubungan apapun dengan Realitas-realitas yang lebih tinggi. Berhenti membaca alam sebagai dirinyan karena itu akan sama dengan berhenti pada tanda saja, padahalnya selayaknya tanda itu adalah pentunjuk bagi adanya yang di tandai . ini juga akan sama dengan orang ingin memetik mawar dari M.A.W.A.R. kata Rumi, “bisakah kita menyunting setangkai mawar dari M.A.W.A.R? Tentu saja tidak karena kalau begitu anda baru menyebut nama saja tidak, (name) .maka ,carilah olehmu yang empunya nama (The Named). Demikianlah alam, dalam pandangan islam bertindak sebagai ayat-ayat Allah. Bukanlah Allah berfirman:
“sesungguhnya dalam penciptaanya langit dan bumi dan bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda (Allah) bagi merka yang berfikir”(QS.3:190).
            Berbicara tentang alam sebagai ayat Tuhan, para sarjana Muslim telah membagi ayat-ayat  tersebut ke dalam dua kategori: yang pertama ,ayat ayat Kauniyyah yakni tanda –tanda yang terdapat pada suci, khusunya al-Quran. Kedua tanda ini, karena berasal daari sumber yang sama, yaitu Tuhan, bersifat saling mengisi. Ini terbukti dari ayat-ayat al-Quran yang begitu akurat menjelaskan fenomena alam tertentu, baik yang terjadi pada alam, ada pun pada diri manusia, semisal pemberitaan al-Quran tentang perkembangan janin dalam rahim sang ibu. Dan ini telah mengispirasi banyak penulis untuk menghasilkan karya yang mencoba mengawinkan antara ayat –ayat kauniyyah dengan ayat Qauliyah.[8]
            Pertanyaan sekarang adalah “mengapa Tuhan menciptakan alam besar dan tinginya ?” jawabannya adalah untuk menjadi tanda bagi kebesaran dan ketinngian karena, kalau ciptaannya mestilah besar juga, bahkan lebih besar daripada ciptaanya ,karena mustahil bagi akal bahwa pencipta lebih kecil dari pada ciptaanya. Hal sama berlaku juga bagi ketinggian. Kalau kita mau mengukur ketinggian langit , bayangkan saja ini. Jarak bumi ke bulan, yang mrupakan planet bumi ,rata - rata adalah 480.000km.
            Selain kebesaran, ketinggian ,dan keindahan alam juga merupakan tanda yang nyata dari pada sifat kasih sayang Tuhan. Ketika seseorang lahir ke dunia, ia menemukan semua kebutuhan pokok kehidupannya telah tersedia begitu saja dunia ini: udara atau oksigen zat yang sangat penting bagi kehidupan manusia, air, tanah, api, tumbuh - tumbuhan dan hewan. Inilah kebutuhan-kebutuhan paling pokok bagi kelangsungan hidup manusia, yang tanpanya tak bisa dibayangkan adanya kehidupan manusia dimuka bumi ini. Selain nikmat yang ada di sekitar manusia , ia juga dikaruniai Tuhan dengan berbagai nikmat berupa berbagai organ penting yang ada pada dirinya seperti otak yang merupakan pusat sistem saraf manusia :jantung yang merupakan pusat sistem sirkulasi darah, paru-paru yang merupakan pusat sistem pernapasan; perut, yang merupakan pusat sistem percanaan ,dan alat kelamin yang merupakan pusat sistem reproduksi[9]. Maka Allah lah satu-satunya wujud yang telah memberi begitu banyak karunia, bahkan tak terhitung banyaknya, tanpa pamrih dan juga tanpa diminta. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karunia Tuhan, berupa nikmat yang melimpah ruah, bagi orang-orang beriman, merupakan tanda(ayat) yang begitu meyakinkan bagi sifat kasih sayang Tuhan yang diekspresikan dalam al-quran sebagai al - Rahman dan al-Rahim.
            Inilah beberapa sifat Tuhan utama yang tanda-tandanya dapat kita  terpantul pada alam semesta. Meskipun begitu , tidak berarti bahwa alam elah hanya merupakan tanda dari sifat-sifat  yang telah kita diskusikan saja . menurut pandangan saya, alam dapat menjadi tandaknyaa dari 99 sifat atau nama-nama Tuhan yang indah (al-asma’ al-husnah). Pembahasan kita pada sifat kebesaran,ketinggian keindahan ,dan kasih sayang, semata-mata hanyalah dimaksudnya sebagai pembatasan pembahasan, dengan harapan bahwa mereka (sifat-sifat tersebuta) telah mampu mewakili dan menjelaskan poin utama yang saya ingin sampaikan, yakni alam sebagai tanda (ayat) dari penciptannya ,bukan hanya dari sudut keberadaanya, seperti yang telah dibahas pada bagian lain, tetapi juga dari sudut sifat-sifat nya.[10]
C.    ALAM SEBAGAI MANIFESTASI ( TAJALLIYAT )
Berbeda dengan alam sebagai tanda, di mana alam di gambarkan sebagai refleksi atau bayangan dari sifat- sifat Allah swt, dengan ia seolah “ berada “ di luar atau di atas alam, alam sebagai menifestasi Tuhan menunjukkan bahwa alam adalah tempat bermanifestasi, atau menggunakan istilah ‘Abd al –karim al – jili, mazhhar tajalli tuhan, baik dari sudut nama – nama (asma’), tindakan – tindakan (af’al), maupun esensi (dzat) nya. Di lihat dari pola hubungan dan tuhan, ‘manifestasi‘, mengesankan keadaan lebih dekat (imanen) ketimbang pola hubungan alam tuhan pada “alam sebagai tanda“ dimana tuhan di gambarkan sebagai sesuatu yang masih berada di luar alam (transenden).
Hegel (w. 1831), seorang filsuf idealism jerman, membayangkan bahwa tuhan berada di dasar semua perkembangan alam pada level- level nya yang berbeda, yang semakin meningkat melalui proses dialektika dan menemukan kesadarannya pada manusia. Dalam islam, pandangan yang mengatakan bahwa tuhan menjadi fondasi dasar dari segala yang ada, dapat di temukan. Sebagai syarat bagi semua yang ada, maka Tuhan yang di sebut sebagai “ wujud murni “ atau “ wujud itu sendiri “ haruslah berada di jantung semua entitas, meskipun ia tidak sama dengan wujud- wujud yang ada di dunia ini. Pandangan Maulana Rumi, bahwa alam adalah ” tuhan dalam penyamaran “ ( god in disguise ), ketika menafsir Allah sebagai “al- zhahir“, memberi kesan bahwa apapun yang tampak pada alam tidak lain dari pada manifestasi tuhan, tetapi bukan tuhan itu sendiri, karena menifestasi tuhan itu hanyalah samarannya. Bahwa tuhan menjadi dasar imanen bagi alamdan manusia bisa di lihatdari pernyataan Rumi bahwa “ tuhan ada di hatinya “, yakni di jantung dirinya yang paling dalam, bukan di tempat lainnya.
Sekarang marilah kembali pada al- jili yang memandang alam sebagai tempat ber- tajalli atau bermanifestasi tuhan, khususnya dari aspek asma ( nama- nama ) dan af’al ( tindakan- tindakan ). Nama- nama tuhan ini biasanya dalam literatur kalam di sebut sifat – sifat tuhan. Dalam kaitan ini, sebagaimana pada diskusi kita tentang alam sebagai tanda ( ayat ) sifat- sifat Allah swt, maka di sini pun alam di kaitkan dengan sifat- sifatnya, bukan sekadar sebagai tanda saja, tetapi sebagai manifestasi sifat- sifatnya-Nya yang menentukan dan mengarahkanperkembangan alam sebagai ‘ self- unfolding ‘ tuhan. Ketika kita bicara sifat kuasa tuhan, maka kekuatan- kekuatan besar dan spektakuler yang di pamerkan dalam alam, misalnya dalam letusan gunung, angin topan, kekuatan atom, dan sebagainya adalah manifestasi sifat kuasa tuhan pada alam, bukan hanya sebagai refleksi atau bayangan-Nya.
Akan tetapi, juga perlu kita ingat bahwa tajalli atau manifstasi sifat- sifat atau nama- namaini tidak hanya terjadi pada alam raya, tetapi terjadi juga pada manusia. Al- jilli, misalnya mencontohkan tajalli asma yang terjadi pada diri al- hallaj. Biasanya ketika tajalli terjadi pada manusiabaik tajalli nama ataupun perbuatan, maka tuhan akan menggantikan nama atau tindakan manusia secara konplit sehingga mereka tidak lagi menjadi milik manusia. Nah, ketika nama tuhan ber- tajalli pada diri al- hallaj, maka di katakan nama la- hallaj telah tiada ( fana ), yang ada adalah tinggal nama al- haqq ( sang kebenaran ). Pada saat itulah al- hallaj mengatakan ana al- haqq, yang berarti ( aku adalah kebenaran  ) atau ( aku adalah tuhan ).
Berikut ini saya akan coba untuk memberikan contoh yang gambling dari tajalli af’al ( tindakan ) allah yang terjadi pada manusia. Lagi- lagi seperti pada kasustajalli asma’, dalam tajalli af’al pun, apabila itu terjadi pada manusia, maka af’al atau tindakan- tindakan tuhanlah yang menggantikan tindakan- tindakan manusia. Ini mislanya dapat di lihat dari ayat al-qur’an “ bukan engkau ( ya Muhammad ) yang melempar ketika engkaunmelempar, melainkan A llah-lah yang melemparkannya “ (QS.8”17 ).
Ayat di atas menunjukkan terjadinya tajalli af’al pada diri Nabi Muhammad, yang meskipun secara historis beliau yang melemparkan ( senjata ) pada masa perang, tetapi di katakana bukan Nabi kita yang melemparkannya, melainkan Allah sendiri yang melakukannya. Mengapa? Karena sebenarnya pelemparan yang di lakukan nabi kita tidaklah muncul dari keinginan hawa nafsu-nya sendiri, tetapi karena mengikuti perintah Allah, sehingga pada hakikatnya Allah-lah yang melemparkannya. Terdapat dalam ayat yang lain mengatakan bahwa “ Nabi kita berkata tidak berdasar pada hawa nafsunya sendiri, maka apapun yang di katakannya itu adalah perkataan dan wahyu Allah juga “ ( QS.53:3-4 ).
Pernyataannya sekarang, bisakah tajalli af’al ini terjadi pada orang- orang selain nabi ? jawabannya mungkin saja. Dalam sejarah pemikiran islam, para sufi di kenal sebagai orang- orang yang berusaha membersihkan dirinya dari segala pengaruh hawa nafsu. Berdasarkan diktum bahwa “ segala tindakan yang di lakukan bukan berdasarkan hawa nafsu, tetapi semata- mata karena mengikuti perintah Allah, maka tindakan tersebut pada hakikatnya adalah tindakan Allah itu sendiri, maka boleh jadi mereka (para sufi yang telah berhasil membersihkan diri mereka dari hawa nafsu) adalah orang- orang, selain nabi yang di jadikan sebagai mazhar tajalli af’al Allah.
Orang- orang suci tersebut telah di jadikan instrument oleh Allah untuk menyampaikan pesan-Nya,atau menyalurkan tindakan dan kehendak-Nya. Dari sini, di kenallah istilah atau ungkapan “ Allah melihat lewat mata mereka, mendengar lewat telinga mereka, dan berkata lewat lidah mereka,” berdasarkan hadis Qudsi yang di riwayatkan dari Abu Hurairah yang terjemahannya kurang lebih:” Hamba-ku terus saja mendekati-Ku lewat nawafil, sampai aku mencintainya, sehingga aku menjadi indra pendengarannya lewat mana ia mendengar, dan indra penglihatannya, lewat mana ia melihat dan tangannya, lewat mana ia menggenggam dan kakinya, dengan mana ia berjalan”( shahih Bukhari 8: 509 )
 









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
          Tidak ada yang sia – sia segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah. Hikmah – hikmah mengalir dari setiap apa yang diciptakan. Allah menciptakan alam semesta dengan tujuan dan fungsi – fungsinya. Alam sebagai ciptaan Allah sebagai perwujudan dari kekuasaannya. Alam sebagai tanda kebesaran Allah, Allah menunjukkan kebesaran-Nya kepada semua makhluknya melalui tanda – tanda yang ada di alam dan yang ada pada diri manusia sendiri. Tidak ada yang sehebat Allah, yang menciptakan manusia dengan segala fungsi dan kesempurnaan bentuk. Tidak ada yang bisa menciptakan Langit tanpa tiang, bumi tanpa gantungan selain Allah. Alam juga sebagai manifestasi ialah Allah menciptakan alam, Allah menciptakan dunia dari yang tidak ada menjadi ada.


















DAFTAR PUSTAKA

Dedi Supriyadi, Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya), (Bandung:Pustaka Setia,2009), p.135
                Hizair MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: TAMER, 2013).
                Ibid.,hal.187.
Ibn Khaldun. The Mqaddimah, trans. Franz Rosenthal. New Jersey: Princeton Uniersity Press,1981.
Ibn Sab’in . Budd al-‘Arif, ed.Dr. George Kitturah. Beirut : Dar al-Andalusia dan Dar al-Kindi, 1978.
                Iqbal, Sir Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in is lam.New Delhi :Kitab Bhavan,1981.
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, (Bandung:Penerbit Arasy,2003),p.126
Mulyadi Kartanegara. Lentera Kehidupan,(Bandung: Penerbit Mizan,2017),p.71
Ramadhani, dkk. Al – Qur’an vs Sains Modern menurut DR.Zakir Naik, (Yogjakarta: SKETSA).



[1] Ramadhani, dkk. Al – Qur’an vs Sains Modern menurut DR.Zakir Naik, (Yogjakarta: SKETSA), hal.221
[2] Hizair MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: TAMER, 2013)
[3] Mulyadi Kartanegara. Lentera Kehidupan,(Bandung: Penerbit Mizan,2017),p.71
[4] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, (Bandung:Penerbit Arasy,2003),p.126
[5] Hizair MA. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Penerbit TAMER, 2013). Pantheisme adalah pemujaan kepada semua dewa dari berbagai kepercayaan.
[6] Dedi Supriyadi, Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya), (Bandung:Pustaka Setia,2009), p.135
[7] Ibid.,hal.187.
[8] Ibn Sab’in . Budd al-‘Arif, ed.Dr. George Kitturah. Beirut : Dar al-Andalusia dan Dar al-Kindi, 1978

[9] Iqbal, Sir Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in is lam.New Delhi :Kitab Bhavan,1981
[10]Ibn Khaldun. The Mqaddimah, trans. Franz Rosenthal. New Jersey: Princeton Uniersity Press,1981