GURU
SEBAGAI PEWARIS NILAI KEBAJIKAN
Muhashonah
Universitas
Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo
Email:
muhashonah0203@gmail.com
Abstrak
Tulisan
ini mengkaji tentang bagaimana sifat dan sikap guru, yang mana guru itu di
pandang dan ditiru orang masyarakat terutama anak didiknya. Guru menjadi
pewaris nilai -nilai kebajikan. Guru tidak hanya mengajar tapi lebih dari itu,
segala apa yang dilakukan apa yang di kerjakan apa yang di ucapkan akan di
lihat kemudian ditiru. Maka dari itu seorang guru hendaklah memiliki sifat yang
dapat diteladani dan perangai yang indah, antara lain seperti murah senyum,
menyukai kebersihan dan keindahan, peka terhadap lingkungan, mengajarkan hal –
hal yang berguna, berwibawa, sabar. Orang yang mengajari kebaikan, setiap
binatang melata memintakan ampunan baginya hingga ikan paus di lautan (Ibnu
Abbas). Untuk itu kami juga banyak membahas tentang ciri - ciri guru yang ideal
menurut perspektif al-qur’an.
Seorang
guru adalah seorang pendidik yang dituntut untuk menanamkan karakter atau
akhlaq pada anak didiknya. Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan
Allah SWT. menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syari’at
agama Allah.. Pendidikan islam di perlukan dan dibutuhkan oleh masyarakat,
karena akhlaq anak – anak telah rusak sebab pergaulan. Maka dari itu
pembentengan diri, pendidikan karakter atau akhlaq, dan contoh yang baik
diperlukan, baik dari gurunya sendiri maupun keluarganya. Kurikulum pendidikan
yang berada disekolah juga harus sesuai dengan tujuan pendidikan agar selaras
dengan apa yang diinginkan dan diharapkapkan oleh masyarakat. Menjadi orang
yang berguna lagi bermanfaat untuk umat sangat ditunggu tunggu oleh masyarakat
pada kalangan muda sebagai generasi umat bangsa.
Kata Kunci
: Guru, Pendidikan Karakter, Nilai Islam,
Akhlaq
Pendahuluan
K
|
ata guru adalah salah
satu kata yang sangat populer dan sering diucapkan manusia, walaupun dengan
bahasa yang beragam. Karena, kebutuhan akan keberadaan guru adalah sangat
penting bagi manuisa. Tidak akan ada peradaban di bumi ini tanpa keberadaan
sosok guru. Itulah sebabnya, sebelum Nabi Adam diturunkan ke bumi dan membangun
peradaban, terlebih dahulu dia belajar kepada Allah swt. sebagai “Guru”
pertama. Seperti firman Allah SWT.
وَعَلَّمَ
ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ[1]
Artinya: “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Falsafah jawa guru diartikan sebagai sosok tauladan yang
harus di “gugu lan ditiru”. Dalam konteks falsafah jawa ini guru dianggap
sebagai pribadi yang tidak hanya bertugas mendidik dan mentransformasi
pengetahuan di dalam kelas saja, melainkan lebih dari itu Guru dianggap sebagai
sumber informasi bagi perkembangan kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian tugas dan fungsi guru tidak hanya terbatas di dalam kelas saja
melainkan jauh lebih kompleks dan dalam makna yang lebih luas. Oleh karena itu
dalam msyarakat jawa seorang guru dituntut pandai dan mampu menjadi ujung
tombak dalam setiap aspek perkembangan masyarakat (multi talent)[2]. Guru adalah orang yang pekerjaannya, mata
pencahariannya, dan profesinya mengajar. [3]
Dalam
setiap proses pembelajaran, selalu ada dua pihak yang terlibat secara langsung,
yaitu guru dan murid. Oleh karena itulah, proses yang dilakukan keduanya
disebut belajar dan mengajar atau sering disingkat dengan PBM. Jika salah satu
dari keduanya tidak ada, maka proses belajar dan mengajar tidak akan terjadi.
Selanjutnya, jika salah satu dari keduanya tidak memenuhi persyaratan yang dituntut
dari keduanya, maka sekalipun prosesnya terjadi namun hasilnya tidak akan
dicapai secara maksimal.
Nilai
(value) menurut saskhein dan khiser di maknai sebagai suatu yang diyakini oleh
manusia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Sedangkan keyakinan
(bilief) adalah sikap tentang bagaimana sikap seharusnya bekerja dalam sebuah
organisasi.[4] Nilai di bedakan berdasarkan fakta yang
terdiri dari lima nilai : pertama, nilai etika, yakni menyangkut hal baik dan
buruk dalam hubungan dengan kegiatan laku perbuatan manusia. Kedua, nilai
estetika, yakni berkenaan dengan keindahan, bagus atau jelek. Ketiga, nilai
intelek, yakni, berkaitan dengan logika dan pengetahuan. Keempat, Nilai agama,
yakni berhubungan dengan suruhan dan larangan Tuhan yang ada didalam kitab
suci. Kelima, nilai sosial, yakni nilai yang menyangkuthubungan antar manusia
dan pergaulan hidup. Dalam perspektif islam, keseluruhan nilai itu bersumber
dari al Qur’an yang merupakan wahyu ilahi.
Dalam
Islam, guru bukan sahaja sebagai penyampai ilmu (mualim) dan pengajar
(mudarris), bahkan guru berupaya membentuk akhlak (muaddib) dan menjadi orang
yang menunjukkan jalan yang benar (mursyid) kepada para pelajar. Lebih penting
daripada itu, guru adalah seorang murabbi yang bertanggungjawab memperbaiki dan
memimpin umat dalam pelbagai aspek.Sebagai seorang murabbi, jiwanya perlu
disulami dengan ciri-ciri pembimbing, pendidik dan perasaan sentiasa ingin
menasihati dalam mentadbir pelajar untuk membentuk akhlak dan peribadi mereka.
Tanggungjawab ini perlu dilaksanakan dengan penuh kasih sayang dan berhikmah. [5]
Guru
menjadi pewaris nilai – nilai yang akan ditiru dan diikuti oleh murid – murid
dan orang disekitarnya karena dianggap mempunyai ilmu yang lebih dari yang
lain. Maka dari itu seorang guru hendaklah memiliki sifat yang dapat diteladani
dan perangai yang indah, antara lain seperti murah senyum, menyukai kebersihan
dan keindahan, peka terhadap lingkungan, mengajarkan hal – hal yang berguna,
berwibawa, sabar. Orang yang mengajari kebaikan, setiap binatang melata
memintakan ampunan baginya hingga ikan paus di lautan (Ibnu Abbas).[6]
Dalam surah al Kahfi ayat 67-68
قَالَ
إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا . وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَالَمْ
تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
Artinya: “Dia menjawab:
"Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67).
Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68).
Dengan
melihat fenomena akhlaq anak – anak yang
terjadi sekarang menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan, di tangan
merekalah agama dan bangsa akan dipegang karena mereka adalah generasi yang
akan melanjutkan kehidupan setelah para pejuang wafat. Maka dari itu mereka
perlu dibekali dengan ilmu dan akhlaq – akhlaq yang baik lewat teladan dalam
kehidupan mereka. Pengaruh dari akhlaq yang tidak baik seperti suka berbohong,
berfoya-foya, bermalas-malasan, bermain tanpa mengenal waktu ini akan menjadi
pengaruh buruk bagi kehidupan mereka dimasa mendatang.
Guru
yang bersentuhan langsung dengan pendidikan anak –anak tidak hanya
memperhatikan nilai akademik atau angka yang tertera dalan raport tetapi juga
perilaku dan akhlaq sehari – hari karena dari situlah akan tertanam nilai –
nilai kebaikan yang tidak hanya tertulis oleh angka. Sesungguhnya guru bukanlah
hanya yang mengajar di kelas formal tetapi orang tua, teman sebaya dan
lingkungan sekitarnya. Orang tua atau keluarga adalah guru pertama untuk
pendidikan anaknya.
Sebaik
baiknya suri tauladan adalah tauladan Nabi Muhammad SAW. Dan sebaik baik guru
adalah yang meneladani Rasulullah. Beliau uswatun hasanah[7],
suri tauladan yang agung dan abadi sepanjang zaman, guru sekaligus teman bagi
para muridnya.[8]
Dan sebaik baik manusia adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya.
Menanamkan kebajikan mewariskan nilai kemuliaan untuk generasi yang lebih baik.[9] Maka dari itu guru wajib mengajarkan ilmu –
ilmu yang ia miliki untuk menghasilkan generasi dan berakhlakul karimah.
Tujuan
penulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana sifat - sifat dan kedudukan
guru sebagai pendidikan bahwa ia memeliki kedudukan yang tinggi seperti dalam potongan ayat al Qur’an surah
al Mujadalah : 11
.....يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَذِيْنَ اُوْتُوْاالعِلْمَ دَرَجَاتٍ,
وَاللَّهُ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
“Allah
akan mengangkat (derajat) orang – orang yang beriman diantara mu dan orang –
orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu
kerjakan.”
Guru Sebagai Pewaris
Nilai Kebajikan
Melihat fenomena kerusakan moral anak bangsa menjadi perhatian khusus
bagi semua kalangan, baik dari pemerintah atau masyarakat itu sendiri.
Keluarga, masyarakat dan sekolah sebagai tripusat pendidikan hampir tak lagi
bisa mengendalikan laju kerusakan moral ini.[10]
Keprihatinan inilah yang menjadi dasar pendidikan karakter yang akan melahirkan
generasi yang bertaqwa berakhlaq qur’ani. Sistem pendidikan yang diatur
pemerintah tak akan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa adanya sarana dan
prasarana dan peranan guru itu sendiri. Guru adalah pelaku utama kesuksesan
pendidikan setelah peran orang tua. Guru mengabdi penuh dengan ketulusan,
keikhlasan dan kasih sayang untuk menghantar anak didik menjadi manusia mulia.[11]
Keikhlasan adalah amal hati yang tak dapat diketahui kecuali dirinya sendiri
dan Allah. Keikhlasan yang akan memberikan bekas baik bagi anak didik yang di
ajarkannya, karena pastilah berbeda hasilnya didikan antara orang ikhlas dan
yang tidak ikhlas, akan terlihat dari tindakan – tindakan yang di lakukan anak
didik. Apakah dia menunjukkan perilaku baik ataukah malah sebaliknya. Abu Sa’id
Al-Khudriy r.a meriwayatkan bahwa pada haji wada’, Rasulullah SAW bersabda,
تَضَّرَ اللَّهُ امْرَاءً سَـمِعَ مَقَالَتِي
فَوَعَا هَا فَرُبَّ حَامِلِ فِفْهٍ لَيْـسَ بِفَقِيْهِ. ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ
عَليْـهِنَّ قَلْبُ امْرءٍ مُؤْمِنٍ اِخْلاَصُ العَمَـلِ للّهِ وَالمُنَاصَحَةُ
لائِمَّةِ المُسْلمِيْنَ وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِتِهِمْ
“Semoga
Allah mencerahkan orang yang mendengar kata-kataku lalu menjaganya. Betapa
banyak orang yang membawa pemahaman, tetapi ia sendiri tidak paham. Tiga hal
yang orang mukmin tidak akan dengki terhadapnya; mengikhlaskan amal kepada
Allah, memberikan loyalitas kepada para pemimpin kaum muslimin, dan selalu
bergabung dengan jamaah mereka.”[12]
Pendidikan
merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki tujuan, sasaran, dan target.
Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah SWT. Dialah pencipta fitrah,
pemberi bakat, pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan, dan interaksi
fitrhah sebagaimana Dia pun mensyariatkan aturan guna mewujudkan kesempurnaan,
kemaslahatan, dan kebahagiaan fitrah tersebut. Pendidikan menuntut terwujudnya
program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran
selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu
perkembangan keperkembangan lainya. Peran seorang pendidik harus sesuai dengan
tujuan Allah SWT. menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti
syari’at agama Allah.[13]
Pendidikan
islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman
pada syari’at Allah. Islam adalah manhaj Rabbani yang sempurna, tidak membunuh
fitrah manusia, dan diturunkan untuk membentuk pribadi yang sempurna dalam diri
manusia. Sudah selama 30 th lebih anak – anak kita dianiya setiap hari oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan
yang tidak mengahargai anak sebagai anak. (romo mangun)[14]
melali pendidikan islam, kita dapat menyelamatkan anak manusia dari penindasan
dan pencampakan dari sistem materialis, paham serba boleh, pemanjaan, dll. Tujuan
pendidikan islam adalah membentuk generasi kepribadian islam, suatu generasi
yang bertingkah laku berdasarkan akidah islam. Karena tujuan pendidikan nilai
adalah menanamkan nilai-nilai islam, sehingga terbentuk kepribadian islam pada
peserta didik.[15]
Kurikulum
pendidikan yang sempurna telah dirancang jelas bagi perkembangan manusia
sistematisasi bakat, psikologi, mental, emosi, dan potensial manuasia. Namun
tidak dapat dipungkiri jika timbul masalah bahwa kurikulum seperti itu masih
memerlukan pendidikan realistis yang dicontohkan oleh seorang pendidik melalui
perilaku dan metode pendidikan yang di
perlihatkan kepada anak didiknya sambil tetap perpegang pada landasan, metode
dan tujuan kurikulum pendidikan. Pada dasarnya, manusia cenderung memerlukan
sosok teladan dan anutan yang mempu
mengarahkan manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus menjadi perumpamaan
dinamis yang menjelaskan cara mengamalkan syariat Allah. Untuk itu Allah
mengutus Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul menjadi teladan bagi manusia
dalam mewujudkan tujuan pendidikan islam. Maka dari itu peran guru sebagai
pendidik sangat menentukan akhlak dan karakter anak didiknya, karena apa yang
yang diliatnya akan dit iru. Siswa menjadi pewaris nilai-nilai kebijaksanaan,
kewibawaan, kecerdasan, kedewasaan gurunya.
Berdasarkan
pedoman Departemen Pendidikan Nasional Dalam Mulyasa mengemukakan tentang
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum harus memenuhi sembilan prinsip.[16]
Diantaranya adalah :
- Keimanan, nilai dan budi pekerti luhur
- Penguatan integrasi nasional
- Keseimbangan etika, logika, estetika dan kinestetik
d. Kesamaan memperoleh kesempatan
- Abad pengetahuan dan teknologi informasi
- Pengembangan keterampilan untuk hidup
- Belajar sepanjang hayat
- Berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif
- Pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Guru Ideal Menurut Perspektif Al-Qur’an
Ada beberapa ayat
al-Qur’an yang membicarakan tentang tipe seorang guru ideal dalam mendidik.
Ideal dalam kemampuan, sikap, metode, dan sebagainya.[17]
Ayat-ayat tersebut antara lain :
- Surat Al-Alaq 1-5
Seorang guru mestilah mampu mendorong dan memberikan motivasi kepada
semua muridnya untuk selalu aktif dan kreatif. Seorang guru idealnya adalah
tidak memaksa muridnya untuk belajar, namun lebih kepada pemberian motivasi dan
rangsangan. Itulah sebabnya, kata iqra’ (bacalah) diulang dua kali dalam surat
al-‘Alaq ayat 1 dan 3
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3)
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
(2) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah (3).”
Seorang
guru yang ideal tidak hanya mampu menyuruh dan mengajak muridnya untuk aktif
membaca, namun juga mampu mengimbanginya dengan kemampuan menulis. Itulah yang
disebutkan dalam surat al-‘Alaq ayat 4
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Artinya: “Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam.”
Ilmu yang sudah dikuasai, jika tidak ditulis
biasanya dengan mudah akan hilang dan lenyap dari ingatan. Ibarat hewan, jika
jika masih dibiarkan lepas tanpa ikatan, tentu dia akan mudah pergi dan
meninggalkan pemiliknya. Begitulah salah satu sifat ilmu, yang juga menuntut
ikatan. Dan ikatan ilmu adalah ketika ia ditulis dalam lembaran kertas.
Seorang
guru mestilah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Sebab, bagaimana mungkin
kita akan mencapai hasil yang maksimal dalam mendidik dan menagajar, jika
kualitas dan sumber daya gurunya sangat minim dan terbatas. Itulah sebabnya,
Allah yang menyebutkan Dzat-Nya sebagai Pengajar manusia yang mengajarkan apa
yang belum diketahuinya. Seperti dalam surat al-‘Alaq ayat 5
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)
Artinya: “Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.”
Oleh karena
itu, idealnya seorang guru adalah orang yang dituntut untuk selalu mampu
menciptakan sesuatu yang baru. Baik dalam hal materi pembalajaran maupun metode
dan caranya. Sehingga, pengajaran tidak bersifat statis dan selalu bergerak ke
arah kemajuan. Tentu para guru dalam hal ini dituntut untuk selalu menambah
wawasannya, yang bisa saja dilakukan melalui berbagai cara, seperti pendidikan
formal, pelatihan, banyak membaca, banyak mendengar berdiskusi dan sebagainya.
Memang begitulah pesan Allah kepada setiap manusia yang berada dalam dunia
pendidikan, supaya mereka menjadi Insan Rabbani.
2. Surat an-Naml 16
Seorang
guru harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang memiliki ilmu, sehingga
memiliki tanggung tanggung jawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya untuk
menyebarluaskan dan mengajarkannya kepada manusia. Hendaklah setiap guru
berkeingianan untuk menjadikan anak didiknya seperti dirinya atau melebihi
dirinya. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. dalam ayat 16
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ
يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ
شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
Artinya: “Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah
diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.
Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.”
Nabi
Sulaiman menyadari sepenuhnya akan ilmu yang dimilikinya dan bahwa itu adalah
karunia Tuhan kepadanya. Oleh Karena itu, dia memberitahukan kepada manusia
pengetahuannya dengan maksud sekiranya manusia juga berkeinginan untuk belajar
dan menimba ilmu darinya. Minimal dia mengatakan hal yang demikian agar tidak
terkesan kalau dia menut upi ilmu yang diberikan kepadanya. Begitulah tanggung
jawab seorang alim terhadap ilmunya. Dia harus sadar akan pengetahuan yang
dimilikinya dan tidak boleh menutupi ilmu tersebut dari orang lain yang ingin
mengetahuinya. Serta memiliki tanggung jawab moral terhadap ilmu tersebut dalam
bentuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam
pandangan ilmu filsafat manusia terbagi kepada empat macam. Pertama, orang yang
tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kedua, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu.
Ketiga, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan keempat, orang yang tahu
bahwa dia tahu. Dua kelompok pertama adalah manusia yang sangat buruk,
sedangkan dua terakhir adalah manusia yang baik dan yang terbaik adalah
kelompok terakhir.
3. Surat Abasa
Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang
responsif terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun
persoalan di “luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas
apalagi melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal
yang kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam
apalagi dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses
belajar dan mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang
baik anatra guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak
akan bisa diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan
baik. Inilah yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa.
عَبَسَ
وَتَوَلَّى(1)أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى(2)
Artinya: “Dia bermuka masam. Karena telah
datang kepadanya seorang yang buta. Seorang guru harus memberikan penghargaan
yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan perlakuan dan
perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat 5-6, “Adapun orang yang merasa tidak butuh. Maka engkau
terhadapnya melayani.”
Bahwa
saat itu Rasulullah saw sangat serius menghadapi para pemuka Quraisy sementara
Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun Rasulullah
saw. tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit mengabaikannya. Dengan
demikian, guru harus berlaku sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada
di antara muridnya yang merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan
membenci gurunya karena dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini
terjadi, maka dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan
bagus.
Seorang
guru harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik untuk dunia
maupun akhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya,
apalagi mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah
“idola” kedua bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa
yang diajarkan gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang
digambarkan dalam ayat 3-4 surat ‘Abasa.
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(3)أَوْ يَذَّكَّرُ
فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى(4)
Artinya:
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin
membersihkan diri (3) Atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya
pengajaran itu (4).
Penutup
Begitulah Al Qur’an
menjelaskan dan membimbing guru agar terus berdakwah, mendidik anak – anak
bangsa penuh dengan keikhlasan. Beberapa ayat al qur’an yang menjelaskan sifat
guru ialah surat Al Alaq, An Naml, Abasa dan masih banyak lagi Ayat dan surat
yang menjelaskan akan hal itu. Sifat – sifat yang dimilikinya begitu mulia
karena itu guru selalu menjadi perhatian masyarakat. Perkataan, sikap dan
tindakannya menjadi contoh orang – orang sekitar termasuk anak didiknya.
Seperti Sabar, murah senyum, menjaga wibawa, ikhlas dll.
Daftar Pustaka
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Ushulut
tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal Madrasati Mujtama’; Penerjemah,
Shihabuddin. Jakarta: Gema insani Press, hlm. 21.
Husaini, Adian. 2016. 10 Kuliah Agama Islam,
Jogjakarta: Pro-U Media hlm.95
Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah, Imam Al Ghazali. 2016. Tazkiyatun Nafs, Solo : Pustaka Arafah, hlm.
12, Cetakan Ke-24.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 288)
S.T Kartono, 2004. Refleksi sistem pendidikan
(baca : Persekolahan !) Nasional Sebuah Otokritik, pendidikan islam &
tantangan globalisai , Ar-Ruzz Media : Jogjakarta.
Sukarta, Mad Rodja. 2016. Merawat Pendidikan
Islam Menjaga Generasi Sholeh, Bogor :Darul Muttaqien Press, hlm. 111-112.
Tazaka, Abu Rizky. 2015. Motivasi Islam, Solo
: As-Salam Publishing hlm. 24
[1]
Q.S Al Baqoroh : 31
[2] http://zonainfosemua.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-guru-menurut-pakar-pendidikan.html
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1993: 288)
[4] Mad
Rodja Sukarta, 2016. Merawat Pendidikan Islam Menjaga Generasi Sholeh, Bogor :
Darul Muttaqien Press, hlm. 111-112.
[5] http://www.sinarharian.com.my/mobile/kolumnis/dr-asyraf-wajdi-dusuki/guru-sebagai-murabbi-ummah-1.675534
[6] Abu
Rizky Tazaka, 2015. Motivasi Islam, Solo : As-Salam Publishing hlm. 24
[7] Uswatun
artinya Al-qudwah atau contah, Hasanah artinya baik. Uswatun Hasanah adalah
contoh yang baik, Nabi Muhammad adalah sebaik-baiknya contoh atau tauladan
terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab : 21 yang artinya “Sungguh telah ada
suri tauladan yang baik pada diri (Rosulullah) bagimu, yaitu bagi orang – orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak
mengingat Allah.”
[8] Dr.
Adin Husaini, 2016. 10 Kuliah Agama Islam, Jogjakarta: Pro-U Media hlm.95
[9] Mad
Rodja Sukarta, op.cit. hlm.1
[10]
Mad Rodja Sukarta, Op Cit. hlm. 111
[11] Mad
Rodja Sukarta, Op. Cit, hlm. 85
[12]
HR. Al Bazzar dengan isnad hasan dan ibnu habban dalam kitab shohihnya. Hadits
ini shohih dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Majjah dari berbagai jalan. As
Sundiy berkata, “Sebagaian hadits ini telah di perbincangkan dalam Az Zawaid.
Akan tetapi matan-matannya nyata-nyata benar dari para imam.(I/104) Ibnu Hibban
mencamtumkan hadits ini dalam Al Mawarid hal.47 dari sahabat Zaid bin Tsabit.
Tulisan ini dikutip dari Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam
Al Ghazali,2016. Tazkiyatun Nafs, Solo : Pustaka Arafah, hlm. 12, Cetakan
Ke-24.
[13]
Abdurrahman An Nahlawi, 1995. Ushulut tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti
Wal Madrasati Mujtama’; Penerjemah, Shihabuddin. Jakarta: Gema insani Press,
hlm 21.
[14]
S.T Kartono, 2004. Refleksi sistem pendidikan (baca : Persekolahan !) Nasional
Sebuah Otokritik, pendidikan islam & tantangan globalisai , Ar-Ruzz Media :
Jogjakarta.
[15]
Mad rodja Sukarta, Op. Cit, hlm.17
[16]
Mad Rodja Sukarta, Op. Cit, hlm. 76
[17]
Blog dari Syofyan Hadi Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar