Jumat, 24 November 2017

Jurnal Pendidikan



GURU SEBAGAI PEWARIS NILAI KEBAJIKAN
Muhashonah
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo

Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana sifat dan sikap guru, yang mana guru itu di pandang dan ditiru orang masyarakat terutama anak didiknya. Guru menjadi pewaris nilai -nilai kebajikan. Guru tidak hanya mengajar tapi lebih dari itu, segala apa yang dilakukan apa yang di kerjakan apa yang di ucapkan akan di lihat kemudian ditiru. Maka dari itu seorang guru hendaklah memiliki sifat yang dapat diteladani dan perangai yang indah, antara lain seperti murah senyum, menyukai kebersihan dan keindahan, peka terhadap lingkungan, mengajarkan hal – hal yang berguna, berwibawa, sabar. Orang yang mengajari kebaikan, setiap binatang melata memintakan ampunan baginya hingga ikan paus di lautan (Ibnu Abbas). Untuk itu kami juga banyak membahas tentang ciri - ciri guru yang ideal menurut  perspektif al-qur’an.
Seorang guru adalah seorang pendidik yang dituntut untuk menanamkan karakter atau akhlaq pada anak didiknya. Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah SWT. menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syari’at agama Allah.. Pendidikan islam di perlukan dan dibutuhkan oleh masyarakat, karena akhlaq anak – anak telah rusak sebab pergaulan. Maka dari itu pembentengan diri, pendidikan karakter atau akhlaq, dan contoh yang baik diperlukan, baik dari gurunya sendiri maupun keluarganya. Kurikulum pendidikan yang berada disekolah juga harus sesuai dengan tujuan pendidikan agar selaras dengan apa yang diinginkan dan diharapkapkan oleh masyarakat. Menjadi orang yang berguna lagi bermanfaat untuk umat sangat ditunggu tunggu oleh masyarakat pada kalangan muda sebagai generasi umat bangsa.

Kata Kunci :  Guru, Pendidikan Karakter, Nilai Islam, Akhlaq

Pendahuluan
K
ata guru adalah salah satu kata yang sangat populer dan sering diucapkan manusia, walaupun dengan bahasa yang beragam. Karena, kebutuhan akan keberadaan guru adalah sangat penting bagi manuisa. Tidak akan ada peradaban di bumi ini tanpa keberadaan sosok guru. Itulah sebabnya, sebelum Nabi Adam diturunkan ke bumi dan membangun peradaban, terlebih dahulu dia belajar kepada Allah swt. sebagai “Guru” pertama. Seperti firman Allah SWT.

وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ[1]
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
            Falsafah jawa guru diartikan sebagai sosok tauladan yang harus di “gugu lan ditiru”. Dalam konteks falsafah jawa ini guru dianggap sebagai pribadi yang tidak hanya bertugas mendidik dan mentransformasi pengetahuan di dalam kelas saja, melainkan lebih dari itu Guru dianggap sebagai sumber informasi bagi perkembangan kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian tugas dan fungsi guru tidak hanya terbatas di dalam kelas saja melainkan jauh lebih kompleks dan dalam makna yang lebih luas. Oleh karena itu dalam msyarakat jawa seorang guru dituntut pandai dan mampu menjadi ujung tombak dalam setiap aspek perkembangan masyarakat (multi talent)[2].  Guru adalah orang yang pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. [3]
Dalam setiap proses pembelajaran, selalu ada dua pihak yang terlibat secara langsung, yaitu guru dan murid. Oleh karena itulah, proses yang dilakukan keduanya disebut belajar dan mengajar atau sering disingkat dengan PBM. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, maka proses belajar dan mengajar tidak akan terjadi. Selanjutnya, jika salah satu dari keduanya tidak memenuhi persyaratan yang dituntut dari keduanya, maka sekalipun prosesnya terjadi namun hasilnya tidak akan dicapai secara maksimal.
Nilai (value) menurut saskhein dan khiser di maknai sebagai suatu yang diyakini oleh manusia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Sedangkan keyakinan (bilief) adalah sikap tentang bagaimana sikap seharusnya bekerja dalam sebuah organisasi.[4]  Nilai di bedakan berdasarkan fakta yang terdiri dari lima nilai : pertama, nilai etika, yakni menyangkut hal baik dan buruk dalam hubungan dengan kegiatan laku perbuatan manusia. Kedua, nilai estetika, yakni berkenaan dengan keindahan, bagus atau jelek. Ketiga, nilai intelek, yakni, berkaitan dengan logika dan pengetahuan. Keempat, Nilai agama, yakni berhubungan dengan suruhan dan larangan Tuhan yang ada didalam kitab suci. Kelima, nilai sosial, yakni nilai yang menyangkuthubungan antar manusia dan pergaulan hidup. Dalam perspektif islam, keseluruhan nilai itu bersumber dari al Qur’an yang merupakan wahyu ilahi.
Dalam Islam, guru bukan sahaja sebagai penyampai ilmu (mualim) dan pengajar (mudarris), bahkan guru berupaya membentuk akhlak (muaddib) dan menjadi orang yang menunjukkan jalan yang benar (mursyid) kepada para pelajar. Lebih penting daripada itu, guru adalah seorang murabbi yang bertanggungjawab memperbaiki dan memimpin umat dalam pelbagai aspek.Sebagai seorang murabbi, jiwanya perlu disulami dengan ciri-ciri pembimbing, pendidik dan perasaan sentiasa ingin menasihati dalam mentadbir pelajar untuk membentuk akhlak dan peribadi mereka. Tanggungjawab ini perlu dilaksanakan dengan penuh kasih sayang dan berhikmah. [5]
Guru menjadi pewaris nilai – nilai yang akan ditiru dan diikuti oleh murid – murid dan orang disekitarnya karena dianggap mempunyai ilmu yang lebih dari yang lain. Maka dari itu seorang guru hendaklah memiliki sifat yang dapat diteladani dan perangai yang indah, antara lain seperti murah senyum, menyukai kebersihan dan keindahan, peka terhadap lingkungan, mengajarkan hal – hal yang berguna, berwibawa, sabar. Orang yang mengajari kebaikan, setiap binatang melata memintakan ampunan baginya hingga ikan paus di lautan (Ibnu Abbas).[6] Dalam surah al Kahfi ayat 67-68

قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا . وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَالَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا
Artinya: “Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (67). Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(68).
Dengan melihat fenomena akhlaq anak – anak  yang terjadi sekarang menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan, di tangan merekalah agama dan bangsa akan dipegang karena mereka adalah generasi yang akan melanjutkan kehidupan setelah para pejuang wafat. Maka dari itu mereka perlu dibekali dengan ilmu dan akhlaq – akhlaq yang baik lewat teladan dalam kehidupan mereka. Pengaruh dari akhlaq yang tidak baik seperti suka berbohong, berfoya-foya, bermalas-malasan, bermain tanpa mengenal waktu ini akan menjadi pengaruh buruk bagi kehidupan mereka dimasa mendatang.
Guru yang bersentuhan langsung dengan pendidikan anak –anak tidak hanya memperhatikan nilai akademik atau angka yang tertera dalan raport tetapi juga perilaku dan akhlaq sehari – hari karena dari situlah akan tertanam nilai – nilai kebaikan yang tidak hanya tertulis oleh angka. Sesungguhnya guru bukanlah hanya yang mengajar di kelas formal tetapi orang tua, teman sebaya dan lingkungan sekitarnya. Orang tua atau keluarga adalah guru pertama untuk pendidikan anaknya.
Sebaik baiknya suri tauladan adalah tauladan Nabi Muhammad SAW. Dan sebaik baik guru adalah yang meneladani Rasulullah. Beliau uswatun hasanah[7], suri tauladan yang agung dan abadi sepanjang zaman, guru sekaligus teman bagi para muridnya.[8] Dan sebaik baik manusia adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya. Menanamkan kebajikan mewariskan nilai kemuliaan untuk generasi yang lebih baik.[9]  Maka dari itu guru wajib mengajarkan ilmu – ilmu yang ia miliki untuk menghasilkan generasi dan berakhlakul karimah.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana sifat - sifat dan kedudukan guru sebagai pendidikan bahwa ia memeliki kedudukan yang tinggi  seperti dalam potongan ayat al Qur’an surah al Mujadalah : 11

.....يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَذِيْنَ اُوْتُوْاالعِلْمَ دَرَجَاتٍ, وَاللَّهُ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ.
“Allah akan mengangkat (derajat) orang – orang yang beriman diantara mu dan orang – orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan.”

Guru Sebagai Pewaris Nilai Kebajikan
Melihat fenomena kerusakan moral anak bangsa menjadi perhatian khusus bagi semua kalangan, baik dari pemerintah atau masyarakat itu sendiri. Keluarga, masyarakat dan sekolah sebagai tripusat pendidikan hampir tak lagi bisa mengendalikan laju kerusakan moral ini.[10] Keprihatinan inilah yang menjadi dasar pendidikan karakter yang akan melahirkan generasi yang bertaqwa berakhlaq qur’ani. Sistem pendidikan yang diatur pemerintah tak akan bisa berjalan dengan sendirinya tanpa adanya sarana dan prasarana dan peranan guru itu sendiri. Guru adalah pelaku utama kesuksesan pendidikan setelah peran orang tua. Guru mengabdi penuh dengan ketulusan, keikhlasan dan kasih sayang untuk menghantar anak didik menjadi manusia mulia.[11] Keikhlasan adalah amal hati yang tak dapat diketahui kecuali dirinya sendiri dan Allah. Keikhlasan yang akan memberikan bekas baik bagi anak didik yang di ajarkannya, karena pastilah berbeda hasilnya didikan antara orang ikhlas dan yang tidak ikhlas, akan terlihat dari tindakan – tindakan yang di lakukan anak didik. Apakah dia menunjukkan perilaku baik ataukah malah sebaliknya. Abu Sa’id Al-Khudriy r.a meriwayatkan bahwa pada haji wada’, Rasulullah SAW bersabda,

تَضَّرَ اللَّهُ امْرَاءً سَـمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَا هَا فَرُبَّ حَامِلِ فِفْهٍ لَيْـسَ بِفَقِيْهِ. ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَليْـهِنَّ قَلْبُ امْرءٍ مُؤْمِنٍ اِخْلاَصُ العَمَـلِ للّهِ وَالمُنَاصَحَةُ لائِمَّةِ المُسْلمِيْنَ وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِتِهِمْ
            “Semoga Allah mencerahkan orang yang mendengar kata-kataku lalu menjaganya. Betapa banyak orang yang membawa pemahaman, tetapi ia sendiri tidak paham. Tiga hal yang orang mukmin tidak akan dengki terhadapnya; mengikhlaskan amal kepada Allah, memberikan loyalitas kepada para pemimpin kaum muslimin, dan selalu bergabung dengan jamaah mereka.”[12]
            Pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki tujuan, sasaran, dan target. Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah SWT. Dialah pencipta fitrah, pemberi bakat, pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan, dan interaksi fitrhah sebagaimana Dia pun mensyariatkan aturan guna mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan, dan kebahagiaan fitrah tersebut. Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan keperkembangan lainya. Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah SWT. menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syari’at agama Allah.[13]
            Pendidikan islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syari’at Allah. Islam adalah manhaj Rabbani yang sempurna, tidak membunuh fitrah manusia, dan diturunkan untuk membentuk pribadi yang sempurna dalam diri manusia. Sudah selama 30 th lebih anak – anak kita dianiya setiap hari  oleh suatu sistem pengajaran dan pendidikan yang tidak mengahargai anak sebagai anak. (romo mangun)[14] melali pendidikan islam, kita dapat menyelamatkan anak manusia dari penindasan dan pencampakan dari sistem materialis, paham serba boleh, pemanjaan, dll. Tujuan pendidikan islam adalah membentuk generasi kepribadian islam, suatu generasi yang bertingkah laku berdasarkan akidah islam. Karena tujuan pendidikan nilai adalah menanamkan nilai-nilai islam, sehingga terbentuk kepribadian islam pada peserta didik.[15]
            Kurikulum pendidikan yang sempurna telah dirancang jelas bagi perkembangan manusia sistematisasi bakat, psikologi, mental, emosi, dan potensial manuasia. Namun tidak dapat dipungkiri jika timbul masalah bahwa kurikulum seperti itu masih memerlukan pendidikan realistis yang dicontohkan oleh seorang pendidik melalui perilaku dan metode  pendidikan yang di perlihatkan kepada anak didiknya sambil tetap perpegang pada landasan, metode dan tujuan kurikulum pendidikan. Pada dasarnya, manusia cenderung memerlukan sosok teladan  dan anutan yang mempu mengarahkan manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus menjadi perumpamaan dinamis yang menjelaskan cara mengamalkan syariat Allah. Untuk itu Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul menjadi teladan bagi manusia dalam mewujudkan tujuan pendidikan islam. Maka dari itu peran guru sebagai pendidik sangat menentukan akhlak dan karakter anak didiknya, karena apa yang yang diliatnya akan dit iru. Siswa menjadi pewaris nilai-nilai kebijaksanaan, kewibawaan, kecerdasan, kedewasaan gurunya.
            Berdasarkan pedoman Departemen Pendidikan Nasional Dalam Mulyasa mengemukakan tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum harus memenuhi sembilan prinsip.[16] Diantaranya adalah :
  1. Keimanan, nilai dan budi pekerti luhur
  2. Penguatan integrasi nasional
  3. Keseimbangan etika, logika, estetika dan kinestetik
d.     Kesamaan memperoleh kesempatan
  1. Abad pengetahuan dan teknologi informasi
  2. Pengembangan keterampilan untuk hidup
  3. Belajar sepanjang hayat
  4. Berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif
  5. Pendekatan menyeluruh dan kemitraan.

Guru Ideal Menurut Perspektif Al-Qur’an
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang tipe seorang guru ideal dalam mendidik. Ideal dalam kemampuan, sikap, metode, dan sebagainya.[17] Ayat-ayat tersebut antara lain :
  1. Surat Al-Alaq 1-5
Seorang guru mestilah mampu mendorong dan memberikan motivasi kepada semua muridnya untuk selalu aktif dan kreatif. Seorang guru idealnya adalah tidak memaksa muridnya untuk belajar, namun lebih kepada pemberian motivasi dan rangsangan. Itulah sebabnya, kata iqra’ (bacalah) diulang dua kali dalam surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3)
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah  Yang Maha Pemurah (3).”
Seorang guru yang ideal tidak hanya mampu menyuruh dan mengajak muridnya untuk aktif membaca, namun juga mampu mengimbanginya dengan kemampuan menulis. Itulah yang disebutkan dalam surat al-‘Alaq ayat 4
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Artinya: “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Ilmu yang sudah dikuasai, jika tidak ditulis biasanya dengan mudah akan hilang dan lenyap dari ingatan. Ibarat hewan, jika jika masih dibiarkan lepas tanpa ikatan, tentu dia akan mudah pergi dan meninggalkan pemiliknya. Begitulah salah satu sifat ilmu, yang juga menuntut ikatan. Dan ikatan ilmu adalah ketika ia ditulis dalam lembaran kertas.
Seorang guru mestilah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Sebab, bagaimana mungkin kita akan mencapai hasil yang maksimal dalam mendidik dan menagajar, jika kualitas dan sumber daya gurunya sangat minim dan terbatas. Itulah sebabnya, Allah yang menyebutkan Dzat-Nya sebagai Pengajar manusia yang mengajarkan apa yang belum diketahuinya. Seperti dalam surat al-‘Alaq ayat 5
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)

Artinya: “Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Oleh karena itu, idealnya seorang guru adalah orang yang dituntut untuk selalu mampu menciptakan sesuatu yang baru. Baik dalam hal materi pembalajaran maupun metode dan caranya. Sehingga, pengajaran tidak bersifat statis dan selalu bergerak ke arah kemajuan. Tentu para guru dalam hal ini dituntut untuk selalu menambah wawasannya, yang bisa saja dilakukan melalui berbagai cara, seperti pendidikan formal, pelatihan, banyak membaca, banyak mendengar berdiskusi dan sebagainya. Memang begitulah pesan Allah kepada setiap manusia yang berada dalam dunia pendidikan, supaya mereka menjadi Insan Rabbani.

2.      Surat an-Naml 16
Seorang guru harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang memiliki ilmu, sehingga memiliki tanggung tanggung jawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya kepada manusia. Hendaklah setiap guru berkeingianan untuk menjadikan anak didiknya seperti dirinya atau melebihi dirinya. Itulah yang ditunjukan oleh nabi Sulaiman as. dalam ayat 16
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.”
Nabi Sulaiman menyadari sepenuhnya akan ilmu yang dimilikinya dan bahwa itu adalah karunia Tuhan kepadanya. Oleh Karena itu, dia memberitahukan kepada manusia pengetahuannya dengan maksud sekiranya manusia juga berkeinginan untuk belajar dan menimba ilmu darinya. Minimal dia mengatakan hal yang demikian agar tidak terkesan kalau dia menut upi ilmu yang diberikan kepadanya. Begitulah tanggung jawab seorang alim terhadap ilmunya. Dia harus sadar akan pengetahuan yang dimilikinya dan tidak boleh menutupi ilmu tersebut dari orang lain yang ingin mengetahuinya. Serta memiliki tanggung jawab moral terhadap ilmu tersebut dalam bentuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dalam pandangan ilmu filsafat manusia terbagi kepada empat macam. Pertama, orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kedua, orang yang tidak tahu bahwa dia tahu. Ketiga, orang yang tahu bahwa dia tidak tahu. Dan keempat, orang yang tahu bahwa dia tahu. Dua kelompok pertama adalah manusia yang sangat buruk, sedangkan dua terakhir adalah manusia yang baik dan yang terbaik adalah kelompok terakhir.

3.      Surat Abasa
Seorang guru tidak boleh memperlihatkan penampilan yang kurang responsif terhadap muridnya, apalagi bermuka kusut dan masam. Sebesar apapun persoalan di “luar sana” seorang guru tidak boleh membawanya ke dalam kelas apalagi melampiaskannya terhadap murid. Kalaupun seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan, maka sedapat mungkin wajah atau air muka yang masam apalagi dilingkupi kemarahan dan kebencian harus dihindari. Sebab, proses belajar dan mengajar menuntut terciptanya hubungan batin dan emosional yang baik anatra guru dan murid. Jika ini tidak tercipta maka dipastikan ilmu tidak akan bisa diberikan dengan sempurna atau murid tidak bisa menyerapnya dengan baik. Inilah yang digambarkan dalam ayat 1-2 surat ‘Abasa.
عَبَسَ وَتَوَلَّى(1)أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى(2)
Artinya: “Dia bermuka masam. Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Seorang guru harus memberikan penghargaan yang sama terhadap muridnya. Seorang guru tidak boleh membedakan perlakuan dan perhatian terhadap murid-muridnya. Hal ini tergambar dari ayat 5-6,  “Adapun orang yang merasa tidak butuh. Maka engkau terhadapnya melayani.”
Bahwa saat itu Rasulullah saw sangat serius menghadapi para pemuka Quraisy sementara Abdullah ibn Ummi Maktum adalah seorang sahabat yang buta- walaupun Rasulullah saw. tidak pernah membedakan manusia- sehingga beliau sedikit mengabaikannya. Dengan demikian, guru harus berlaku sama terhadap seluruh muridnya, sehingga tidak ada di antara muridnya yang merasa iri atau dengki kepada murid lain atau bahkan membenci gurunya karena dinilai kurang adil kepada sesama mereka. Bila ini terjadi, maka dikhawatirkan proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan bagus.
Seorang guru harus mengajarkan hal-hal yang berguna bagi muridnya, baik untuk dunia maupun akhirat. Seorang guru jangan mengajar sesuatu yang merugikan muridnya, apalagi mengajarkan sesuatu yang akan mencelakakannya. Sebab, guru adalah “idola” kedua bagi murid setelah orang tua mereka. Murid pasti meyakini bahwa yang diajarkan gurunya adalah sesutau yang mesti diikuti. Itulah yang digambarkan dalam ayat 3-4 surat ‘Abasa.
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى(3)أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى(4)
Artinya: “Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin membersihkan diri (3) Atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu (4).

Penutup
Begitulah Al Qur’an menjelaskan dan membimbing guru agar terus berdakwah, mendidik anak – anak bangsa penuh dengan keikhlasan. Beberapa ayat al qur’an yang menjelaskan sifat guru ialah surat Al Alaq, An Naml, Abasa dan masih banyak lagi Ayat dan surat yang menjelaskan akan hal itu. Sifat – sifat yang dimilikinya begitu mulia karena itu guru selalu menjadi perhatian masyarakat. Perkataan, sikap dan tindakannya menjadi contoh orang – orang sekitar termasuk anak didiknya. Seperti Sabar, murah senyum, menjaga wibawa, ikhlas dll.

Daftar Pustaka

An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Ushulut tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal Madrasati Mujtama’; Penerjemah, Shihabuddin. Jakarta: Gema insani Press, hlm. 21.
Husaini, Adian. 2016. 10 Kuliah Agama Islam, Jogjakarta: Pro-U Media hlm.95
Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Al Ghazali. 2016. Tazkiyatun Nafs, Solo : Pustaka Arafah, hlm. 12, Cetakan Ke-24.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 288)
S.T Kartono, 2004. Refleksi sistem pendidikan (baca : Persekolahan !) Nasional Sebuah Otokritik, pendidikan islam & tantangan globalisai , Ar-Ruzz Media : Jogjakarta.
Sukarta, Mad Rodja. 2016. Merawat Pendidikan Islam Menjaga Generasi Sholeh, Bogor :Darul Muttaqien Press, hlm. 111-112.
Tazaka, Abu Rizky. 2015. Motivasi Islam, Solo : As-Salam Publishing hlm. 24







[1] Q.S Al Baqoroh : 31
[2] http://zonainfosemua.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-guru-menurut-pakar-pendidikan.html
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 288)
[4] Mad Rodja Sukarta, 2016. Merawat Pendidikan Islam Menjaga Generasi Sholeh, Bogor : Darul Muttaqien Press, hlm. 111-112.
[5] http://www.sinarharian.com.my/mobile/kolumnis/dr-asyraf-wajdi-dusuki/guru-sebagai-murabbi-ummah-1.675534
[6] Abu Rizky Tazaka, 2015. Motivasi Islam, Solo : As-Salam Publishing hlm. 24
[7] Uswatun artinya Al-qudwah atau contah, Hasanah artinya baik. Uswatun Hasanah adalah contoh yang baik, Nabi Muhammad adalah sebaik-baiknya contoh atau tauladan terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab : 21 yang artinya “Sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri (Rosulullah) bagimu, yaitu bagi orang – orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
[8] Dr. Adin Husaini, 2016. 10 Kuliah Agama Islam, Jogjakarta: Pro-U Media hlm.95
[9] Mad Rodja Sukarta, op.cit. hlm.1
[10] Mad Rodja Sukarta, Op Cit. hlm. 111
[11] Mad Rodja Sukarta, Op. Cit, hlm. 85
[12] HR. Al Bazzar dengan isnad hasan dan ibnu habban dalam kitab shohihnya. Hadits ini shohih dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Majjah dari berbagai jalan. As Sundiy berkata, “Sebagaian hadits ini telah di perbincangkan dalam Az Zawaid. Akan tetapi matan-matannya nyata-nyata benar dari para imam.(I/104) Ibnu Hibban mencamtumkan hadits ini dalam Al Mawarid hal.47 dari sahabat Zaid bin Tsabit. Tulisan ini dikutip dari Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Imam Al Ghazali,2016. Tazkiyatun Nafs, Solo : Pustaka Arafah, hlm. 12, Cetakan Ke-24.
[13] Abdurrahman An Nahlawi, 1995. Ushulut tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha Fii Baiti Wal Madrasati Mujtama’; Penerjemah, Shihabuddin. Jakarta: Gema insani Press, hlm 21.
[14] S.T Kartono, 2004. Refleksi sistem pendidikan (baca : Persekolahan !) Nasional Sebuah Otokritik, pendidikan islam & tantangan globalisai , Ar-Ruzz Media : Jogjakarta.
[15] Mad rodja Sukarta, Op. Cit, hlm.17
[16] Mad Rodja Sukarta, Op. Cit, hlm. 76
[17] Blog dari Syofyan Hadi Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar